34. The Morning After

Magsimula sa umpisa
                                    

Ayolah, Clavina. Fokus.

Kupejamkan mataku sembari menikmati guyuran air yang menyentuh kulitku. Aku ingin sejenak memudarkan seluruh aneka macam rasa yang sedang menguasaiku; kebahagiaan, kecanggungan, kelegaan, kantuk, lelah, gugup, rindu dan jejak nyeri.

Hawa panas menyambangi kedua telinga dan sepanjang tulang belakangku.

Mark sudah sangat berhati-hati, aku juga sudah berusaha sebisaku untuk rileks.

Tapi ternyata, tetap agak sakit.

Terutama setelahnya.

Mataku menatap nanar lantai di bawah kakiku. Aku menelan kenyataan bahwa, kini, akhirnya aku kehilangan

Kugeleng-gelengkan kepalaku untuk mengusir riuh dalam pikiran. Aku harus cepat. Kucuci rambutku (lagi) dengan shampo, menggosok-gosok tubuh dengan busa beraroma bunga, lalu langsung memakai atasan bahan rajut dan celana panjang santai setelah seluruh rangkaian mandiku selesai.

Aku mendengus karena harus mengeringkan rambut lagi padahal semalam sebelum tidur aku sudah mencuci rambutku. Setelah proses memakai losion, lipbalm, dan parfum selesai, aku langsung berjalan kembali ke ruang kamar.

"Selamat pagi." Mark menyambut saat aku menutup pintu kamar mandi di belakangku. Ia sedang duduk santai di tepi ranjang. "Kubuatkan teh. Minumlah terlebih dahulu agar tubuhmu hangat." Ia mengerling cangkir teh di atas nakas. Tangannya sedang memegangi cangkir kopi.

Aku merasa tersentuh. Mark baik sekali.

"Terima kasih banyak." Aku berucap lirih. Dengan canggung, kuhampiri Mark dan ikut duduk di sisinya. Ia langsung mengulurkan cangkir tehku dengan senyum terulas di bawah keremangan.

Kusesap tehku dengan teramat perlahan. Sudah tidak terlalu panas, rasanya nyaman sekali saat cairan getir bercampur manis teh turun melintasi kerongkonganku.

Jika tehku sudah tidak begitu panas, apakah itu berarti tadi aku menghabiskan waktu cukup lama di kamar mandi?

"Hari ini aku yang siapkan sarapan, oke?" Mark mengajukan diri.

"Hari ini adalah giliranku." Aku mengingatkan bersama nada ketidaksetujuan.

Mark menoleh. "Tapi aku ingin mengambil alih. Kau beristirahat saja."

"Aku sudah tidak mengantuk lagi, kok."

"Aku tetap ingin menyiapkan sarapan. Kau bersantai saja hari ini."

Dahiku mengerut, tidak mengerti mengapa pagi ini Mark tampaknya bersemangat sekali. Ia menyesap lagi kopinya yang sudah berkurang setengah. Energinya seperti sudah sepenuhnya terkumpul sedari tadi. Sementara diriku... kantukku memang sudah berkurang, namun aku merasa masih seperti kucing besar yang baru bangun tidur. Lesu dan enggan memulai hari.

Setelah alarm adzan subuh berbunyi, aku dan Mark menunaikan shalat bersama. Hujan rintik-rintik mulai turun lewat pukul enam, membawa hawa dingin yang menggelitik tulang. Kusesap tehku yang tersisa lalu tanpa sadar mulutku menguap lagi. Cuaca pagi ini mengantarkan kembali rasa kantukku.

"Sudah kubilang, kan?" ledek Mark, menyadari aku tidak bisa menyembunyikan rasa kantukku lagi. "Kemarikan," ia mengambil cangkir teh yang sudah kosong dari tanganku. Berniat mengembalikannya ke dapur bersama cangkir kopinya sekalian. "Tidurlah. Nanti kubangunkan saat sarapan sudah siap."

"Sekarang kau mau ke mana?" Aku bertanya sembari masih duduk di tepi ranjang.

"Mengembalikan cangkir-cangkir." Ujar Mark. Sudah jelas.

"Setelah itu?"

Mark tidak beranjak karena aku terus bertanya. "Ke studio mungkin."

"Sepagi ini?"

In A Rainy Autumn [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon