16. Buat Aku Aja

319 78 16
                                    

Masih dalam mode tak ingin terlalu ikut campur, seharian aku jadi lumayan pendiam.

Karl menjadi hiburanku satu-satunya, setiap kali aku mengingatkan diri sendiri untuk tak bertanya, jangan tertarik, jangan menimbrung terlalu jauh, aku melampiaskannya dengan mencurahkan perhatian pada malaikat kecilku.

Sayangnya, kupingku masih belum bisa kuajak kompromi. Seperti sebuah antena, dia tegak tiap menangkap sinyal. Jika seseorang mulai membicarakan problematika mereka, telingaku bekerja diam-diam meskipun mulutku bungkam seolah ada selotip merekat tak kasatmata, mencegahku berkomentar. Lama-lama aku merasa seperti mata-mata karena terlalu banyak menguping.

Contohnya pagi menjelang siang setelah sarapan tadi. Biasanya kalau kami berkumpul, aku akan menanyai mereka satu per satu berbagai macam hal yang kulewatkan. Namun, kali ini sambil pura-pura asyik bermain lego bersama Karl, aku bersikap tak acuh pada keluhan Kenang setelah menerima telepon dari seseorang.

"Kak Reva?" Kefan bertanya.

Kanaya langsung menyahut begitu Kenang mengangguk, "Reva yang sering sama lo di video?"

Kenang mengangguk lagi, "Akhir-akhir ini gue agak terganggu. Sebenernya gue udah lama tahu perasaannya dan berusaha mengabaikan aja, gue tetap dekat sama dia meski gue nggak ada rasa apa-apa, tapi kayaknya dia malah salah paham."

"Kenapa lo nggak sukanya, gue lihat lumayan kok dia," celetuk Kanaya sambil menggeser layar ponsel yang semula tergeletak di meja.

"Kakak bukannya bilang dia udah confess?" Kefan menambahi. "Udah kakak tolak baik-baik, belum?"

"Udah," jawab Kenang cepat. "Gue udah bilang untuk saat ini nggak pengin pacaran dulu."

"Bukannya itu sama aja ngasih harapan?"sergah Kanaya.

"Kalau gue bilang nggak suka, apa nggak malah sadis kesannya? Lagian kami udah temenan lama, nggak mungkin gue nolak terang-terangan. Gue mikir aja, gimana kalau hubungannya jadi nggak asyik lagi? Jadi gue pikir, gue nyari alasan aja. Sambil jalan, siapa tahu da ngeh sendiri kalau gue nggak tertarik bukan sama pacarannya, tapi ama dianya."

"She's cute," gumam Kanaya di depan layar ponsel, Kefan melongokkan kepala dan sepertinya punya pendapat yang sama.

"Bukan tipe gue," desis Kenang. "She is too active. Dia enak diajak kerja, enak diajak diskusi, tapi gue nggak bisa sayang lebih dari temen."

"Lo buanyak ada video ama dia." Kanaya masih menggumam. Sudah jadi kebiasaannya nggak mau dengerin penjelasan orang. Kalau ada orang punya pendapat beda, dia nggak akan dengerin, asyik sama pikirannya sendiri. Lihat aja habis ini pasti dia punya komentar berdasarkan pengamatannya sendiri. "Subscriber lo juga pada suka. Lo nggak hanya takut kehilangan pamor kalau dia ngejauh setelah lo tolak terang-terangan, kan?"

Benar, kan?"

"Wow, it's more than 200k views," decaknya lagi. "Lihat, nih. Yang sama si Reva jauh lebih banyak ditontonnya."

"Gue nggak ada pikiran ke sana ...." Kenang terdiam, mengabaikan arah pembicaraan Kanaya. "Well ... gue akui ada perasaan takut kalau dia lantas ngejauh, tapi ... bukan lantaran Youtube viewers atau pamor, lebih karena nggak ingin kehilangan temen yang asyik aja, ya buat hang out, buat kerja ... tapi bukan tipe gue."

"Emang tipe Kakak kayak gimana?" Kefan penasaran.

"Hmm!" Kanaya menawarkan high five yang disambut antusias oleh si bungsu. "Gue juga mikir gitu. Kayaknya seumur hidup lo belum ada pacaran lagi setelah Tori nggak ada, kan? Kayak apa sih tipe lo, tuh?"

"Nah ... tipe gue yang kayak Tori itu ...," desah Kenang, suaranya terdengar jauh, seakan diucapkan dari dimensi yang berbeda dari dua saudaranya yang begitu bersemangat ingin tahu.

Growing PainsWhere stories live. Discover now