19. Parenting

297 64 6
                                    

Kuakui aku jauh lebih posesif terhadap Kefan.

Bisa jadi karena saat aku kembali dia masih cukup kecil sehingga aku masih punya banyak waktu memanjakannya. Terus terang, sempat agak sulit bagiku mengatasi rasa kehilangan ketika dia mulai bisa bergaul dengan guru les-nya yang masih muda, atau dengan Eric dan kawan-kawannya. Pun Kefan, dia tidak keberatan aku memberinya perhatian lebih, tidak seperti Kenang atau Kanaya yang selalu protes kalau aku overprotektif.

Aku tahu, setiap anak terlahir berbeda dan aku ingin bisa menghargai, mendukung jalan hidup apa pun yang ditempuh adik-adikku selama mereka bisa mempertanggungjawabkannya. Namun, aku tak pernah mampu mengusir rasa tak rela setiap kali Kenang mengembuskan kemungkinan itu. Kemungkinan bahwa Kefan—bisa saja—gay.

Akan tetapi, sejauh ini aku mencoba lebih memercayainya. Kefan bilang tidak, berarti tidak. Meskipun jika dia bilang iya, entah bagaimana aku akan menyikapinya.

Sewaktu dari kejauhan aku melihat Eric dan Kefan, sesuatu yang berat seperti menghantam jantungku. Langkah-langkah cepatku seketika terhenti, membuat Karl kebingungan dalam gendonganku. Aku mematung, memikirkan bisikan-bisikan jahat Kenang tentang si bungsu. Bagaimana jika dia memang seperti yang dikhawatirkan Kenang selama ini, apakah aku sanggup menerima kenyataan bahwa bocah favoritku akan mengalami masa-masa sulit dalam menerima dirinya sendiri?

Posisi Eric memunggungiku sehingga dengan jelas aku bisa memprediksi tanpa takut ketahuan bahwa dia tengah menyimpan Kefan dalam pelukannya. Sahabat macam apa yang baru berpisah beberapa hari sudah begitu rindunya hingga saling peluk, padahal mereka sama-sama pria? Walaupun aku tak melihat Kefan membalas pelukannya, rasa sakit itu tetap saja terasa menggigit. Aku juga pria, aku punya beberapa sahabat saat masih muda, tapi kontak fisik sesama pria tak pernah sedemikian intim sedekat apa pun kami satu sama lain.

Di tengah kegalauan itu, ponselku malah berdering. Nama Kal-el terpampang di layar, kecemasanku seketika buyar.

"Kenan, lo nggak di rumah, ya?" Dia menyerbu.

Oh sial ... bagaimana dia tahu? Apa dia ke rumah?

"Gue tadi nelepon rumah nggak ada yang angkat, kalian di mana?"

"Oh ... eng ... aku ngajak Karl nganterin Kefan jemput Eric di bandara, sekalian makan malam," jawabku gugup.

"Nggak ada orang di rumah?"

"Harusnya ada Kenang, Kanaya sih izin mau keluar, tapi aku nggak tahu dia udah jalan atau belum."

"Ken, kalau bisa jangan terlalu sering ngajak Karl keluar malam," katanya dengan nada kecewa. "Dia masih kecil, kalau dia sakit, pasti nyariin mamanya."

"Iya, aku ngerti."

"Gue mau bicara sama dia."

Aduh ... keringat dingin menitik di keningku. Gawat. Kalau dia tahu Karl minum susu kemasan lebih dari satu kotak hari ini, dia bisa menjemputnya sekarang juga. Kalau ini Moza, aku masih bisa memohon maklum dan dia jauh lebih pengertian, tapi Kal-el sangat galak perihal asupan gizi anaknya. Dia juga tidak sepenuhnya percaya kepadaku. Pada saat-saat biasa, dia bisa menelepon lebih sering daripada pacar yang cemburuan hanya untuk menanyakan kondisi Karl selama bersamaku.

Aku melihat Karl sejenak sebelum menyerahkan telepon kepadanya. Kalau aku menyuruhnya berbohong, dia paham nggak, ya? Tapi ... kalau aku memintanya menipu orang tuanya sendiri, akan jadi paman macam apa aku nanti?

Dengan setengah hati, setelan mengubah mode loud speaker, aku menyerahkan ponsel pada Karl dan bilang bahwa itu dari papanya.

"Hai Papa," sapa Karl lucu. "Aku lagi ama Om di teminal."

Growing PainsWhere stories live. Discover now