20. Pillow Talk

525 73 2
                                    

Hmmm ....

Nasi tim keju. Nasi tim ayam. Nasi tim brokoli. Brokoli saus keju. Kubenarkan kacamata yang melorot. Sup bakso tahu. Kupikir ini mudah. Aku bisa belanja sekali untuk persediaan beberapa hari dan memasaknya sedikit-sedikit saat waktu makan. Buahnya bisa dijus, tulis Kal-el dalam note-nya. Dia hanya mau makan pisang dan jeruk, tapi dia mau minum jus apa saja asal tidak asam. Bisa kamu tambahkan susu murni dan sedikit madu, tambahnya.

Oke. Aku mengepalkan tinju. Ini gampang.

"Kakak belum tidur?"

Aku mengangkat wajah dan menemukan Kenang menguap sambil membuka pintu kamar. Keliatannya dia bangun karena haus. Aku jadi ingat tadi Kal-el menelepon dan tak ada seorang pun yang menjawab.

"Kamu tidur dari sore?" Aku balas bertanya.

Dia menguap lagi. "Aku masih cape banget," katanya sambil nyelonong ke kamar mandi dengan mata setengah terpejam. Tidak semua kamar di lantai atas ada kamar mandinya, hanya kamar utama dan kamarku saja. Kalau malas turun, mereka biasanya pipis di kamar mandiku.

Aku mematikan laptop dan menilik Karl sekali lagi. Dia tidur lelap seperti bayi.

"Sudah kamu siram?" tanyaku pada Kenang yang sudah berdiri di ambang pintu kamar mandi sambil mengencangkan kolor boxernya.

Astaga. Dia masuk lagi dan baru terdengar bunyi air menggerojok. Dengan terkantuk-kantuk, dia menghampiriku dan membaringkan tubuhnya di kasur. Kulirik jam di dinding. Sudah hampir pukul satu dini hari. Kanaya belum pulang.

"Ke mana dia?" Kenang bertanya dengan mata tertutup.

"Dia cuma bilang keluar sama teman-temannya," jawabku gusar. Kuraih ponsel di nakas dan mulai menghubungi nomor Kanaya. "Berandalan satu ini, pasti kayak gini juga kelakuannya di Bali. Dia nggak angkat teleponku."

Kenang tersenyum mengejek, "Di klab palingan. Nyambung, nggak?"

"Nyambung." Kucoba sekali lagi. "Sial. Kamu tahu dia biasa ke mana?"

"Enggaklah." Kenang bergerak mendekat pada tubuh Karl dan memeluknya, meregangkan tubuh tanpa mengusik tidur keponakannya, kemudian baru benar-benar membuka mata. "Gimana Kefan sama Eric tadi?"

Aku tidak menjawab.

Kenang menyangga kepalanya dengan tangan, "Gimana? Mencurigakan nggak?"

"Mungkin sedikit sangat akrab," kataku mencoba tidak terdengar berat sebelah.

"Dia tidur sini?"

Aku menggeleng. "Kalau dia gay, dan Kefan enggak, apa Kefan akan kepengaruh atau semacamnya?"

"Kalau aku sih enggak." Kenang berucap santai, mengganti posisi tidurnya menjadi tengkurap dengan dagu tersangga dua tumpuk bantal. "Kalau ada teman dekatku yang gay, aku akan lebih dulu memastikan dia nggak tertarik kepadaku. Tapi ... tentu saja aku akan berhati-hati, kalau memungkinkan menjauh, kalau tidak bisa ya harus ada batasan yang jelas."

"Menurutku Kefan hanya terlalu baik."

"Hmmm." Kenang berdeham. "Kurasa itu juga bisa jadi masalah. Apa Kefan nggak berani menjauh karena dia tak ada kawan?"

"First of all," kataku memotongnya. "Kita juga belum memastikan apakah Eric gay atau enggak. Semua ini kan hanya praduga bersalahmu aja!"

"Well ... benar juga," Kenang mengekeh pelan. "Aku sih nggak masalah Kefan mau gimana, aku ada banyak teman yang lain preferensi juga nggak masalah, yang kayaknya masalah kan kakak. Kakak pasti kecewa beraaat kalau sampai Kefan punya kekurangan, iya, kan?"

Growing PainsWhere stories live. Discover now