10. Arrive

313 78 7
                                    

Rasanya, aku tidak pernah mencurahkan hatiku pada siapa pun kecuali Ruth. Sudah bertahun-tahun dia menjadi sandaranku. Seseorang yang boleh melihat semua sisi diriku seutuhnya, tanpa penghalang. Di depannya aku bisa menjadi apa pun yang kuinginkan. Aku bisa menjadi kekasih yang manja, sekaligus pria yang melindunginya. Aku dapat mengeluhkan pekerjaan yang tidak boleh didengar Kakek kepadanya. Aku menumpahkan kekesalanku pada sikap Kal-el yang menyebalkan hanya padanya. Bisa mencaci maki hampir semua pacar Kanaya di depannya. Bisa mengkhawatirkan pilihan hidup Kenang—padahal di depan pemuda itu aku senantiasa mendukung—padanya. Bisa memeluknya dengan leluasa meski yang kurindukan adalah Kefan tanpa dia merasa keberatan. Hanya Ruth. Hanya pada perempuan itu aku memperoleh kebebasanku.

Setiap kami berselisih paham, yang membuatku kembali adalah kerinduanku untuk mengadu. Aku suka cara berpikirnya. Segala bentuk perhatiannya adalah semua yang pernah kuinginkan dari seorang perempuan. Dia tidak mengekang, tetapi tidak berhenti mengawasi. Dia percaya kepadaku, meski tidak semua keputusanku ia setujui. Kapan pun aku berbuat salah, dia selalu pemaaf.

Aku juga tergila-gila pada kehangatannya sebagai perempuan. Dia cantik, menarik, pada saat-saat tertentu, dia terlalu memesona hingga aku tak ingin pria manapun melihat pesona yang kulihat darinya. Kami tidak selalu mesra. Ada kalanya kami terlalu sibuk mengurus urusan masing-masing, tapi kami sadar kami memiliki satu sama lain.

Ruth adalah simbol kenyamanan bagiku, saking nyamannya, aku sempat lupa bahwa dia perempuan yang memiliki keinginan untuk dimiliki sepenuhnya.

Bertahun-tahun aku mengabaikannya, tapi saat aku merasa hubungan kami sudah cukup kuat untuk dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius, aku justru merusak segalanya.

Namun, aku masih Lucius Kenan yang sama dengan Kenan lima tahun lalu. Seorang pria yang pernah berhasil menyatukan kembali sebuah keluarga setelah mereka berhenti memercayaiku. Keahlianku adalah memenangkan kembali sesuatu yang pernah kusia-siakan. Meski itu bukan sesuatu yang pantas kubanggakan, aku nggak akan menyerahkan Ruth begitu saja. Dia pantas diperjuangkan, sama pantasnya dengan keluarga ini dulu.

Kecuali dia dengan tegas menyatakan tak ingin merajut kisah lagi denganku, aku tidak akan putus harapan.

Saat mobil sampai di bandara, setengah kegundahanku telah sirna.

"Dia tidur," bisik Kefan.

"Yah ... kekenyangan kayaknya." Aku tertawa kecil.

Dengan hati-hati, menggunakan tisu basah, kubersihkan wajah tidur Karl dari serpihan cream puff dan pasta stroberinya.

"Apa kak Kal-el dulunya seperti dia?" Kefan bertanya.

"Karl jauh lebih banyak bicara," kataku. "Ya ... dia lebih mirip aku."

Ah ... ya ... aku masih sering lupa bahwa secara biologis, aku bukan bagian dari keluarga. Secara genetis, bisa saja seorang ponakan lebih mirip sang paman daripada ayahnya, tapi untuk kasusku tentu tidak mungkin terjadi.

Selalu ada lubang yang kembali membuka tiap fakta itu berkelebat dalam ingatan. Aku masih terluka, meski tak menyalakan siapa-siapa. Memang tak ada seorang pun yang menyatakan keberatan tiap aku ikut campur dalam kehidupan mereka, tapi aku tahu diri sendiri. Hal ini yang kadang menahanku untuk tidak lagi banyak bertanya dan memiih diam-diam mencari tahu mengenai kehidupan adik-adikku. Tak ada yang mengungkit bahwa aku bukan kakak kandung mereka saat aku marah besar atas kebebasan pergaulan Kanaya, misalnya, tapi tak ayal itu menganggu. Menyiksaku dalam tanda tanya besar yang tak pernah terkikis, meski kadang terlupa, apa aku masih berhak bersikap protektif terhadap mereka?

"Kakak ... nggak pernah nanya ke kakek siapa ayah kandung Kakak?" tanya Kefan hati-hati, seakan membaca pikiranku.

Aku membuang tisu basah bekas ke dalam tempat sampah, lalu menggerakkan bahu, dan menggeleng. Berusaha menyembunyikan betapa sebenarnya aku juga sangat ingin tahu. Aku terlalu takut mengungkit permasalahan itu saat kakek masih hidup, padahal besar kemungkinan beliaulah kunci dari informasi ini.

Growing PainsWhere stories live. Discover now