Ruangan dalam keadaan hening, sebelum kemudian pintu tiba-tiba terbuka dengan keras hingga pecah, muncul seseorang yang membuat semuanya membeku.

Gadis itu terisak keras seraya berlari ke arah Septi, tanpa memperdulikan yang lain.

"Septi bangun Septi! Aku pulang! Aku datang! Kamu rindu sama aku kan?! Septi huaaa..."

Aya menangis meraung sambil mengguncang tubuh Septi dengan kasar, Raikan yang melihat ingin mencegah, tapi tertahan karena cekalan Arno di tangannya.

Arno menggeleng pelan dan menyuruh Raikan diam lewat isyarat mata.

Aya menatap wajah Septi dengan tajam, tangannya terangkat mengunyel pipi Septi tanpa perasaan dengan air mata yang mengalir. "Katanya kita mau nikah kan? Ayo bangun Septi! Aku udah pulang, dan kamu bisa nikah sama aku, Septi bangun..." Aya menangis keras, gadis itu mencondongkan tubuhnya dan menaiki brangkar, mendudukkan tubuhnya di atas perut Septi, kepalanya menunduk menatap Septi yang masih memejamkan mata.

Aya mendekatkan wajahnya, air matanya yang terus menetes membasahi wajah Septi. "Kita nikah Septi... Ayo bangun!!!"

"Kamu tahu rasanya di tinggalin ngga enak kan?"

"Kamu tahu rasanya nunggu ngga enak kan?"

"Kamu udah ngerasain itu semua, begitu pula aku. Aku ngga mau jelasin kapan kamu ninggalin aku, ceritanya panjang bin ribet." Aya memajukan bibirnya beberapa senti, kini gadis itu berbaring tengkurap di atas tubuh Septi.

"Masih ngga mau bangun hah?!" Sentak Aya kesal sambil memukul wajah Septi pelan.

Aya merenggut kesal. "Septi bangun!!!"

"Kamu mau bangunin apa mau nyiksa sih Ay?!" Celetuk Ria, namun pertanyaan itu Aya abaikan. Gadis itu menaruh wajahnya di dada Septi, menghirup aroma tubuh pria itu yang sangat dia rindukan.

Aya mengangkat kepalanya, gadis itu beringsut maju hingga kini wajahnya berhadapan dengan wajah Septi. Wajah mereka begitu dekat, hampir tak ada jarak.

Sebelum melakukan sesuatu, Aya menolehkan kepala, memandang keluarganya dengan tatapan yang rumit. "Kalian mau nonton pertunjukan atau pergi?" Tanyanya dengan nada datar, tatapan matanya begitu dingin.

Ria mencengkram tangan Arno kuat, hatinya pedih saat di tatapan seperti itu oleh putrinya sendiri. "Bunda mau lihat." Putusnya tegas, Aya menatap sang Bunda dengan senyum miring dan mengedikkan bahu tak acuh.

Gadis itu kembali pada posisinya, menatap wajah Septi dengan lekat. "Kamu mau menjelma jadi pangeran tidur hmm??" Gumamnya pelan, tatapannya menelusuri setiap lekuk wajah Septi dengan tajam.

"Septi bangun huaaa..." Aya kembali menangis keras, bibirnya melengkung ke bawah, wajahnya begitu basah oleh air mata yang tak berhenti mengalir.

Dengan sesegukan, Aya bertanya. "Kamu mau aku cium? Aku kabulin, asal kamu bangun." Tanpa aba-aba Aya melumat bibir Septi dengan kasar, meski disela-sela lumatannya, air matanya mengalir.

Arno berdecih dan mengajak Ria untuk kembali duduk, kakinya pegal jika harus terus berdiri. Tiga A serta Yuna dan Tita hanya diam sambil mengalihkan tatapan, Raikan mengulum bibirnya sendiri dengan alis yang menyatu karena kesal, pria itu mendengus dan memalingkan wajah.

"Septi..." Ucap Aya dengan lirih, air matanya semaki banyak keluar. Meski sudah lelah menangis, tangisannya tak kunjung berhenti.

"Septi bangun..." Aya menatap Septi dengan sendu, matanya berkaca-kaca, seluruh bagian wajahnya memerah karena terlalu banyak menangis.

Aya kembali melumat bibir Septi, kali ini dengan penuh kelembutan, telapak tangannya menangkup wajah Septi, Aya memejamkan kelopak matanya. Saat merasa tak ada balasan, Aya mulai menyerah dan menarik wajahnya, gadis itu membuka matanya ketika kepalanya di tahan.

Matanya kembali berkaca-kaca, disela-sela lumatan mereka, bibir Septi mengukir senyuman, Aya kembali meneteskan air mata.

"Kita nikah okey?" Bisik Septi serak begitu ciuman mereka selesai, Aya mendudukkan dirinya diperut Septi tanpa beranjak sedikitpun, gadis itu mengulurkan tangannya.

"Kita nikah." Cetusnya sambil tersenyum lebar, Septi yang baru saja bangun mendudukkan dirinya sambil naik ke dalam pangkuan Aya.

Septi mengerjap pelan ketika Aya mulai bangkit dan berjalan keluar ruangan. "Kita mau kemana?" Tanyanya bingung.

Aya memasang wajah santai, dengan wajah yabg basah air mata, gadis itu mengecup bibir Septi sekilas. "Kita nikah."

"Hah? Sekarang?"

"Iya, bulan depan kelamaan, aku mau langsung ena-ena." Balas Aya dengan santai, kakinya melangkah di sepanjang koridor rumah sakit.

Septi menggeleng tak terima, dirinya kalah, ini tak bisa dibiarkan. "Aku lagi sakit ini." Bantahnya kesal.

Aya memajukan wajahnya, menatap Septi dengan mata menyipit. "Ini sakit."

"Akkhhh!!" Septi mengerang ketika Aya menggigit pipinya gemas, gadis itu hanya tertawa dan kembali melanjutkan langkahnya.

Yes, nikah!!! Soraknya dalam hati.

"Ayy!! Anak kurang ajar!! Mau nikah ngga bilang-bilang!!" Arno berteriak kesal di sela-sela langkahnya guna menyusul Aya yang ada di depan mereka.

Ria mendesah di sela-sela larinya. "Pagar ayu belum ada, pagar bagus belum ada, belum hakim dan-"

"Semuanya udah siap!!" Teriak Aya dari jauh.

Ria dan Arno melotot. "Ayaaa!!!" Teriak mereka geram, Aya tertawa renyah sambil berlari membawa Septi di pangkuannya.

Kelurga edan!

Missing You [End]Where stories live. Discover now