• 02 •

11 2 0
                                        

Playing Now
Rassya | Ku Kan Menunggumu

⏪⏸⏩

Hari-hari Septi terisi dengan penuh kekosongan, setiap hari dia selalu mendekam di kamarnya, tanpa keluar sedikitpun, walau hanya untuk makan.

Tatapannya menatap kosong ke arah jendela yang terbuka lebar, menampakkan hari yang mulai beranjak sore.

Septi tak sekolah sama sekali, dia memutuskan untuk istirahat sejenak, membenarkan isi pikiran kepalanya yang amburadul karena kepergian orang yang dia cintai.

Setiap hembusan nafas yang dia keluarkan, setiap itu pula kenangan-kenangan indah bersama gadisnya muncul begitu saja.

"Cita-cita kamu mau jadi apa?" Tanya Aya pada Septi yang tengah berbaring di pangkuannya, tangan gadis itu tak berhenti mengusap jambul Septi yang mulai memanjang.

Septi memasang ekspresi berfikir dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke samping, tak lama senyum sumringah hadir, membuat Aya semakin penasaran dan menantikan jawaban yang akan keluar dari mulut kekasihnya.

"Aku mau jadi Pilot!" Cetusnya senang.

Berbeda dengan Septi yang terlihat senang, Aya justru terlihat khawatir.

Cita-cita sebagai pilot membawa banyak resiko, dia tidak mau terjadi apa-apa pada kekasihnya, tapi jika itu memang keinginan Septi, Aya hanya bisa mendukung sepenuh hati dan memberi Septi semangat untuk mencapai cita-cita yang laki-laki itu inginkan.

Saat Septi meliriknya, cepat-cepat Aya membenarkan ekspresinya menjadi senyum. "Aku bakalan dukung apapun yang kamu mau, asalkan itu masih positif." Ucap Aya dengan sinar mata yang lembut, tangannya memilin-milin rambut Septi yang lembut karena laki-laki itu  masih memakai shampo khusus bayi.

Septi tersenyum lebar, tangannya semakin mendekap pinggang Aya erat. Terlanjur gemas, Aya mengangkat tubuh Septi yang menurutnya ringan itu kepangkuannya, mendekap tubuh Septi dengan erat, sesekali bibirnya menggigit kecil leher Septi, membuat laki-laki itu mengeluarkan suara yang terdengar aneh ditelinga laki-laki itu.

"Kamu apain leher aku? Kok rasanya geli-geli gitu sih?" Tanya Septi polos, namun pertanyaan itu membuat Aya semakin gencar menggigit leher Septi hingga meninggalkan bekas ungu kemerahan.

"Eh.. Uhm.."

Septi menutup mulutnya rapat-rapat, dalam pikirannya saat ini tengah bertanya-tanya, apa yang gadisnya itu lakukan hingga dia mengeluarkan suara aneh seperti ini.

Berbeda dengan Septi yang memang polos dan tak mengerti apa yang gadisnya lakukan, Aya justru semakin gencar membuat tanda di leher Septi, dari hari ke hari dan tahun ke tahun mereka bersama, nafsunya pada kekasihnya itu semakin tak tertahankan.

Budaya yang diturunkan nenek buyutnya melekat sangat dalam dirinya, yaitu dengan bebas melakukan hal seperti ini meski belum memiliki status yang sah.

Karena saat ini dia masih mengikat Septi menjadi kekasihnya, setelah besar nanti dia akan mengikat Septi sebagai suaminya, belahan jiwanya.

Nafas Aya memburu dengan darah yang terasa mengalir deras di dalam tubuhnya, jantungnya berdegub kencang.

Gawat! Hasratnya sudah membelenggu begitu kuat dan hampir saja dia kehilangan kendali, dengan sekali sentakan Aya membawa Septi ke dalam pangkuannya, menggendongnya dari depan dan berjalan meninggalkan halaman belakang rumahnya.

Dengan bibir yang tak henti-hentinya mencecap leher Septi.

Nafas Septi memburu, tangannya memegang lehernya yang meremang, adegan itu semakin jelas dalam kepalanya. Berbeda dengan dulu yang jelas sekali dia tak mengerti apa-apa, sekarang dia benar-benar mengerti apa yang dilakukan gadisnya padanya.

Dalam hati dia bersyukur karena adegan itu tak dilanjutkan, karena Ayah gadisnya itu menegur agar tidak kebablasan.

Tubuhnya masih menegang dengan nafas yang memburu, tatapannya melirik ke bawah.

"Duh.. Jadi tegang gini? Gimana caranya biar ngga tegang lagi?" Gumamnya bingung.

Septi memang Septi, mengakunya saja sudah tidak polos.

...

Bugh

Bugh

Bugh

Krak

Ketiga laki-laki dengan rupa sama itu terus membaku hantam satu sama lain, tak peduli dengan tubuh dan singlet yang mereka kenakan sudah basah dengan keringat dan bercak-bercak darah.

"Sudahlah, aku lelah."

Salah satu dari mereka angkat bicara, dia mengangkat tangannya tanpa berhenti dan berjalan ke pinggir dan duduk dikursi yang tersedia, meluruskan kakinya dan menyandarkan punggung ke dinding.

Sisa duanya, mereka tak peduli dan terus beradu tinju, berusaha menjatuhkan satu sama lain. Beberapa menit kemudian mereka sama-sama lelah dan memilih bergabung dengan saudara mereka yang sudah istirahat lebih dulu.

"Aku ingin minum." Ucap Asrael sambil menengadahkan tangannya pada Azazel yang sudah istirahat dari tadi.

Azazel menatap uluran tangan Kakaknya polos, dia mendongak. "Jika kau ingin minum, ya ambil sendiri. Kenapa kau memintanya padaku? Aku bukan tukang galon." Cetusnya dan mengalihkan pandangan, hingga matanya menatap Kakak pertamanya yang menatap mereka dengan bibir terkulum.

Alisnya mengerut heran. "Brother! Kau ini kenapa? Apa mental mu bermasalah hingga kau seperti ini? Jika ingin tertawa ya tertawa saja."

Asrael yang mendengar jika Kakak mereka menahan tawa menoleh sengit. "Apa?! Kau ingin menertawakan ku hah?! Tertawa saja! Tak ada yang larang!" Sewotnya jengkel, tangannya dengan kasar meraih botol air yang tersimpan di samping Azazel, maka dari itu dia tadi meminta untuk diambilkan.

Tapi sepertinya si bungsu tak mengerti apa maksudnya. Polos boleh-boleh saja, tapi jangan membuat orang kesal juga. gumamnya kesal dalam hati.

Mendapat izin dari Adiknya, kontan saja Astaroth tertawa ngakak, kepalanya menengadah ke atas, hingga urat-urat lehernya terlihat. Senang sekali rasanya melihat si pengais bungsu yang ternistakan oleh si bungsu, karena biasanya dialah yang menjadi korban kejailan si pengais bungsu itu.

Azazel yang melihat Kakak pertamanya tertawa mengedikkan bahunya tak ambil pusing, sedangkan Asrael yang kesal meminum air dengan kasar dan tak santai, alhasil ..

Uhuk uhuk uhuk

Bukanya menolong Adiknya yang tengah tersiksa, Astaroth malah semakin dibuat tertawa ngakak hingga kini tubuhnya berbaring dengan paha Azazel sebagai bantalannya.

"Sialan kau! Bukannya menolong malah menertawakanku! Kakak tidak berprikeadikan!" Umpat Asrael dengan tangan yang sibuk mengelap bibirnya menggunakan sapu tangan.

"Hah.. Aku lelah karena terus tertawa." Ucap Astaroth lirih dengan tangan yang tersimpan dijidatnya, Azazel menatap Kakaknya itu polos. "Salah Kakak sendiri, siapa juga yang mengajak Kakak tertawa."

"Ppfftt.."

Azazel melirik kedua Kakaknya tak mengerti, tadi Kakak pertamanya yang tertawa, sekarang Kakak keduanya, dalam hati dia bergumam.

Apa sedang ada kontes tertawa? Kalau iya aku ingin ikut, jika hadiahnya uang aku akan memasukkan nya ke dalam celengan, dan jika hadiahnya berupa barang aku tidak jadi ikutan.

Jika saja Kakak-Kakaknya itu tahu apa yang ada di pikiran si bungsu, bisa dipastikan jika ruangan itu akan terasa sesak karena aura mendung dari keduanya saking gemasnya pada Adik mereka yang plin-plan.

Missing You [End]Where stories live. Discover now