• 07 •

7 2 0
                                        

Playing Now
Maroon 5 | Memories

⏪⏸⏩

Gerakannya untuk merebahkan diri di ranjang terhenti kala pintu kamarnya terketuk, dengan langkah malas  Septi menuruni ranjang dan berjalan untuk membuka pintu.

Tok tok tok

Bisa sabar ngga sih?! Dumelnya dalam hati.

Septi mempercepat langkahnya dan membuka pintu cepat, hingga matanya melihat sang Ayah yang berdiri menjulang di hadapannya. "Bisa ikut Ayah ke ruang tengah?"

Meski malas dan ingin cepat tidur, Septi tetap menganggukkan kepalanya, menerima permintaan Ayahnya. Mereka berjalan beriringan menuju ruang tengah, hanya keheningan yang menemani langkah mereka. Septi tak berniat membuka suara, begitu pula Raikan yang tak tahu harus membicarakan apa dengan putranya.

Sesampainya di ruang tengah, Septi mendudukkan dirinya di hadapan Ayahnya yang sudah duduk lebih dulu.

Demi mengurangi rasa canggung, Raikan berdehem pelan dan mulai menatap putranya dengan lekat. "Kamu mau lanjutin sekolah atau bagaimana?"

Sejenak hanya ada keheningan yang melanda, Septi terdiam mendengar ucapan yang keluar dari mulut Ayahnya. Saat ini dia belum mau nelihat dunia luar, dia belum siap lahir batin!

Mengerti dengan kondisi putranya, senyum tulus terukir di bibir Raikan, pria itu berpindah duduk di samping Septi, tangannya mengusap pelan surai Septi yang berwaina coklat.

"Ayah mengerti, tapi kamu harus melanjutkan sekolah, tidak apa sekolah tidak normal, kamu akan sekolah di rumah. Kamu ingin menggapai cita-cita kamu kan?"

"Ingat ucapan Ayah baik-baik, hidup hanya satu kali Septi, penyesalan selalu datang di akhir. Ayah tidak mau kamu mengalami penyesalan di akhir, saat ini kamu memang tidak memikirkan itu karena kamu tengah bersedih atas kepergiannya, tapi coba kamu ingat kata-kata motivasi yang dia katakan, jangan mengecewakan orang yang sudah meninggal Septi."

Setelah berucap seperti itu, Raikan berjalan pergi dan memasuki kamarnya, meninggalkan Septi seorang diri di ruang tengah.

"Apapun yang terjadi kamu harus gapai cita-cita kamu."

"Kamu mau jadi orang sukses kan? Kalau begitu kamu harus sekolah, biar pinter. Karena orang pinter lebih banyak rezekinya dari pada orang kaya."

"Kalau cita-cita kamu jadi pilot, kamu harus berjuang sungguh-sungguh, karena jadi pilot itu ngga gampang."

"Kamu ..

Ucapan-ucapan mereka terngiang-ngiang dikepalanya, membuat Septi menghembuskan nafas kasar. Septi bangkit dari duduknya dan berjalan kembali ke kamar.

"Demi kamu, apapun akan aku lakukan."

...

Septi senang, karena permintaanya untuk jalan-jalan ke alun-alun Aya kabulkan dengan cepat. Saking senangnya Septi tak menghiraukan teriakan Aya yang menyuruhnya untuk tidak berlari, Septi lupa jika tadi siang hujan baru saja mengguyur kota Bandung, alhasil saat ini dia terpeleset karena jalan yang dia pijaki licin.

Sreettt

"Aaaaaa..."

Hap

Septi menutup matanya rapat-rapat, bersiap merasakan sakit di bagian pantatnya. Tapi merasa dirinya tengah melayang, Septi akhirnya membuka mata yang langsung disambut dengan hujaman kecupan di kedua matanya, membuat Septi kembali menutup matanya.

"Udah ih, haha geli tahu haha."

Aya terus mengecup seluruh wajah Septi tanpa menghiraukan tatapan orang-orang yang kini mengarah pada mereka. "Aku bilang jangan lari baby, ngeyel sih." Decaknya saat sudah menyematkan kecupan kecil disudut bibir Septi.

Mendengar suara terkesiap di sampingnya, Aya menoleh dan menemukan dua pemuda yang memandangnya cengo. "Kenapa tuh muka? Mau gue tapokin tai lo berdua? Wajah cengo kalian ngga seimut wajah cengo pacar gue!" Sentak Aya yang membuat dua pemuda itu mengerjap.

"Santai aja kali Dek, lagian lo kecil-kecil udah pacaran aja." Salah satu dari mereka berdecak, membuat Aya ikut berdecak dengan tangan yang senantiasa menepuk punggung Septi pelan agar merasa rileks kembali, kejadian saat dia akan terpeleset membuat Septi kaget setengah mati meski tadi dia sempat tertawa karena geli.

"Kalau lo iri, bilang! Lagian kalian ngga tahu ya, kita bahkan udah pacaran lebih dari satu tahun?! Kecil-kecil gini, gue setia kali, ngga kayak temen sebelah lo yang playboy! Suka nyosor anak orang lagi! Iuuhhh jijik."

Yang disindir merasa tak terima dan balas dengan tak kalah tajam. "Lo juga nyosorin dia tadi, padahal lo cewek loh Dek." Ucapnya tak terima.

Aya menaikkan alisnya. "So what?! Bahkan Ayah gue sama Ayah dia ngga masalah gue sosorin dia, pacar gue aja ngga keberatan sama sekali." Balasnya santai dan berlalu pergi meninggalkan dua pemuda menjengkelkan itu.

"Bocah jaman sekarang, ck!"

"Jadi sepeda-sepedaan ngga nih? Kamu nya aja kayak gini." Ucap Aya yang membuat Septi mengangkat kepala dan mengedarkan pandangan, hembusan nafas lesu terdengar. "Sepedanya udah diambil orang." Ucapnya parau kala melihat sepeda incarannya sudah habis tersewa.

Sekali lagi Aya mengecup bibir Septi pelan, matanya menangkap sepasang kekasih yang tengah berbonceng di melewatinya, langsung saja Aya menghentikannya.

"Woy berhenti! Gue boleh pinjem sepeda kalian ngga?!"

Awalnya sepasang kekasih itu tak mau, tapi Aya terus kukuh memperjuangkan sepeda itu, alhasil sepasang kekasih itu menyerah dan memberikan sepeda yang ditumpangi mereka tadi. "Tapi kita belum bayar Dek, lo harus bayar ya."

Aya mendelik sinis. "Iya-iya Mba, gue banyak duit, tenang aja." Selorohnya kesal.

"Nih! Sekarang mau naik sendiri atau aku bonceng?"

Septi tersenyum antusias membuat Aya gemas dan mencubit pipinya pelan, sambil bertepuk tangan kecil Septi menjawab riang. "Bonceng!"

Melihat Septi kembali ceria membuat Aya tersenyum, dia menaiki jok sepeda dan mendudukkan Septi di stang sepeda. Septi mencoba menjaga keseimbangannya kala sepeda mulai melaju pelan, hembusan angin menampar wajahnya dengan lembut, jambulnya yang mulai panjang terbawa angin.

Aya menikmati wajah Septi yang terpampang didepannya, senyum kecil terukir dibibirnya. Semoga kamu selalu bahagia kayak gini. harapnya dalam hati.

Dengan semangat Septi merentangkan tangannya, dia terpekik senang. "Aku seneng banget loh Ay! Udah lama aku pengen kayak gini!" Aya terkekeh kecil mendengarnya.

"Kapan-kapan kita kesini lagi ya?" Septi lagsung saja mengangguk dan mengecup pipi Aya, membuat gadis itu lagi-lagi terkekeh.

Aya terus menggoes sepeda yang mereka tumpangi dengan pelan memutari laun-alun hingga Septi merasa puas, dan matahari yang lama-lama mulai terbenam, mereka pulang dengan Aya yang lebih dulu mengantar Septi ke rumah.

Missing You [End]Where stories live. Discover now