Aku mengerutkan alis. "Nggak mungkin," gumamku.

"Boleh saya pinjam handphone?"

Ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku jas yang ia kenalan lalu memberikannya padaku.

"Holy shit! Wajah gue, Kenapa wajah gue berubah?" batinku panik melihat pantulan diriku di dalam layar ponsel.

"Ke-kenapa wajah saya berubah?" Aku meraba pipi dengan tangan gemetar.

"Wajah putri Daddy memang cantik begitu dari lahir. Nggak ada yang berubah, sweetheart," sahutnya sambil meraih ponsel dari tanganku lalu mengelus pipiku lembut.

Tidak, ini tidak mungkin. Apa aku mengalami perpindahan jiwa?

Suara gesekan pintu yang dibuka membuatku langsung menoleh, seorang laki-laki mengenakan seragam SMA dengan tas berada dibahu kanannya mendekat ke arah kami. Aku terhipnotis sesaat menatap tubuh tinggi serta atletisnya. Sungguh indah pahatan ciptaan Tuhan. Namun ada satu hal yang membuat mulutku menganga, aku kenal laki-laki ini, dia adalah Sean.

"Daddy kenapa nyuruh aku ke sini?" tanya Sean memasang wajah datar.

"Kamu jagain adek kamu, Daddy harus ke kantor, ada meeting penting."

Sean berdecak seraya merotasikan bola mata tak suka serta melirikku tajam. "Suruh suster aja yang jagain, aku ada latihan basket, Dad."

"Libur dulu latihan basket, kamu jagain adek kamu." Ia bangkit dari duduknya lalu mencium pucuk kepalaku. "Daddy pergi dulu, ya. Kalau ada apa-apa hubungi Daddy pakai handphone Abang."

"I-iya, Dad." Aku mengerti sekarang, bahwa jiwaku masuk ke dalam tubuh Leta.

"Daddy berangkat. See you, baby girl."

"See you, Dad."

Aku menatap punggung Daddy menghilang dibalik pintu. Kemudian aku beralih menatap Sean yang sudah duduk ditempat Daddy duduk sebelumnya.

"Kali ini apa lagi rencana lo?" Sean tersenyum dingin, kedua tangannya terlipat di depan dada.

"Hah?" Aku binggung, sama sekali tidak tahu arti dari perkataan Sean.

"Sampai kapan lo mau nyusahin gue? Lo harusnya sadar apa yang lo mau nggak semuanya bisa lo dapetin. Berhenti bikin gue malu, gue muak banget sama lo."

Aku mengepal tangan. Aku tidak mengerti masalah Leta dengan Sean. Namun menurutku perkataan Sean sudah keterlaluan. Kata-katanya menyakitkan, sangat berbeda sekali dengan Sean yang kutemui sebelumnya. Kemana perginya senyum menawan serta tatapan memuja Sean saat menatapku? Kini hanya ada tatapan dingin bercampur kebencian pada kedua manik Sean.

"Lebih baik lo berhenti bikin drama, karena gue udah capek." Sean tak kunjung berhenti bicara.

"Lo ngomong apa sih? Gue nggak ngerti. Kalo lo kesal karena nggak mau jagain gue, yaudah lo pergi aja, daripada ngomel nggak jelas."

Terlihat raut wajah Sean terkejut mendengar perkataanku. Namun keterkejutan itu berganti tatkala Sean mengangkat sudut bibirnya, tersenyum sinis. "Nggak usah akting, gue udah capek."

"Siapa juga yang akting," balasku malas.

"Biasanya lo manggil gue Abang dengan nada menjijikkan, dan sekarang lo nggak manggil gue Abang. Apa namanya itu kalau bukan akting?" lontar Sean.

Aku sangat kesal, rasanya ingin menekan tombol darurat agar suster mendatangiku. Kemudian meminta suster menyeret Sean keluar dari ruanganku. Sean sangat menyebalkan.

"Dan jangan lo pikir gue sudi jagain lo." Sean memberikan tatapan dingin yang teramat aku benci. Kemudian Sean pergi meninggalkanku setelah mengatakan perkataan sarkasnya.

"Cowok sialan! Nyebelin! Lo ada masalah apa sih sama Adek lo sampai ngomel-ngomel? Harusnya lo omelin Leta bukan gue!" pekikku emosi.

Sekarang, aku sedang memikirkan bagaimana nasibku ke depannya? Kenapa Tuhan tidak membiarkan aku mati dan bertemu Mama? Apa takdir sengaja mempermainkanku? Dosa apa yang aku lakukan sehingga Tuhan membuatku terjebak di dalam raga Leta.

Aku mencabut jarum infus pada punggung tanganku lalu turun dari hospital bed menapaki lantai keramik yang bersih dan dingin. Kemudian keluar, berjalan pelan di lorong rumah sakit seraya berpegangan pada dinding.

Baru berjalan beberapa meter saja napasku sudah tersengal-sengal. Sial, kenapa tubuh Leta lemah banget sih! makiku dalam hati.

Rasanya aku mau pingsan. Namun sebelum tubuhku terjatuh ada orang yang menahan bahuku. "Lo gapapa? Kenapa keluar kamar? Harusnya lo istirahat."

Aku menoleh padanya, keningku mengerut. "Lo ... siapa? Apa kita saling kenal?"

Laki-laki di hadapanku tersenyum manis. "Gue siapa? Gue Liam, temen Abang lo. Kecelakaan bikin lo lupa sama gue, ya?" Ia terkekeh pelan.

"Ayo, gue antar ke kamar, lo harus istirahat biar cepat sembuh."

"Gue mau ke kantin, laper," cetusku.

"Yaudah, gue anterin. Bisa jalan? Atau mau gue gendong?"

"Nggak usah repot-repot, gue bisa sendiri," tolakku dengan sopan, berharap laki-laki bernama Liam ini segera melepaskanku.

"Ayolah, gue cuma mau nganterin lo ke kantin," rengeknya seperti sudah sangat akrab denganku.

"Nggak," balasku. Liam mungkin sudah akrab dengan Leta tapi tidak denganku, itu sebabnya aku menolak tawaran Liam yang ingin mengantarku.

Liam terdiam beberapa saat, aku tersenyum puas karena merasa Liam akan pergi sebentar lagi. Tetapi dugaanku salah besar, Liam malah mengangkat tubuhku ala bridal style membuatku memekik.

"Jangan nolak gue, biarin gue nganterin lo. Lagian lo tadi hampir jatuh. Yakin, mau jalan sendiri?"

Aku mengulum bibir sejenak, memikirkan saat ini tubuh Leta sangat lemah. Barangkali aku bisa pingsan jika memaksa berjalan. Aku membalas dengan satu anggukan yang mewakili jawaban atas tawarannya barusan.

Liam tersenyum puas. Kemudian mulai melangkah membawaku menuju kantin rumah sakit.

A or A [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang