00; Prolog

10.5K 648 34
                                    

Capek, ya?

Sama, Angkasa juga.

Siapa yang tidak capek kalau baru pulang kerja harus dihadapkan dengan seorang gadis yang datang-datang minta pijat?! Tidak hanya itu, Angkasa juga harus mendengarkan celotehannya yang tidak ada kata selesai. Seolah pekerjaannya yang masih bisa pulang jam lima sore itu seratus kali lebih berat daripada pekerjaan Angkasa yang selalu pulang saat hari sudah gelap. Kalau begini, sepertinya Angkasa harus benar-benar beli apartemen dan pindah saja. Terserah kalau ibunya mau marah. Angkasa sudah tidak sanggup lagi.

"Mas, tangan Dena lagi. Capek banget tadi disuruh beli kopi seabrek!" Perempuan yang memakai piyama bermotif buah strawberry itu memperbaiki duduknya. Yang semula memunggungi, kini menghadap Angkasa lalu mengulurkan tangan. "Padahal ada OB, tapi kenapa harus Dena yang disuruh beli kopi, sih? Mau sampai kapan Dena disuruh-suruh terus? Padahal udah kerja hampir setahun, masih aja dijadiin babu. Dena udah nggak kuat kerja lagi. Udah capek ngurus kerjaan, ditambah lagi harus ngurusin mulut senior. Dena tuh––Mas! Mas dengar nggak sih Dena ngomong apa?"

Perempuan yang menyebutkan dirinya sebagai Dena itu mendengkus. Ia menatap Angkasa nyalang.

"Iya, dengar," jawab Angkasa malas-malasan. "Ini kamu udah makan belum sih?"

"Belum." Dena menarik tangannya yang dipijat Angkasa, lalu mengulurkan tangannya yang satu lagi dengan santainya.

Tak protes, langsung saja Angkasa memijat tangan yang tiga kali lebih kecil daripada tangannya itu. "Mau makan apa?" Jangan kira Angkasa perhatian, ia hanya mencoba mencari cara untuk menyumpal mulut Dena.

"Mas Caca mau beliin?" Sepasang mata Dena berbinar.

"Hm."

"Hm apaan? Bilang 'iya' dong, Mas!"

"Iya, Dena."

"Yey. Nggak banyak kok, Mas. Dena pesan sendiri di Go-Food, ya?"

Angkasa mengangguk. Bersyukur karena setelah itu Dena langsung menarik tangannya kemudian mengambil ponsel di meja.

"Eh, kok hp-ku?"

"Boleh kan, Mas?" Dengan senyum merekah, Dena meraih jari telunjuk Angkasa untuk membuka kunci layar.

"Pakai hp kamu aja dong," suruh Angaksa, tetapi tetap saja mengikhlaskan jarinya.

"Pakai hp Mas Caca aja." Dena sudah membuka aplikasi pesan antar makanan itu, tak peduli dengan keruhnya wajah Angkasa.

"Gue mau––"

"Bilang 'iya' aja apa susahnya sih, Mas?! Say yes, Mas. Say yes!"

Angkasa menekan-nekan tengkuknya yang tiba-tiba kaku. Kemudian menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ia mengulangi kegiatan itu berkali-kali agar tidak terbawa emosi. Demi Tuhan, usianya sudah 33 tahun. Namun, sehari-harinya harus mengalah pada anak kecil berusia 24 tahun!

Harusnya bukan anak kecil juga sih. Namun, karena Angkasa melihat pertumbuhan anak itu sejak kelas 3 SD, sehingga di mata Angkasa, Dena Gerhana Charallia tetaplah anak kecil dengan mata bulat yang polos. Sehingga ia tidak tega untuk menolak permintaannya. Seperti sekarang misalnya. Demi berhenti jadi babu––memijat Dena––Angkasa harus rela ponselnya dimonopoli.

"Iya, Dena," ucap Angkasa akhirnya. "Aku ke atas dulu, ya. Mau mandi."

"Oh iya, Mas belum mandi, ya? Pantes dari tadi ada bau-bau nggak enak," kelakar Dena dengan pandangan terus menatap layar ponsel Angkasa. Ia tengah memilih-milih menu makanan.

"Sembarangan!" Angkasa menjitak Dena dua kali membuat perempuan itu meringis. Harga parfumnya yang jutaan bahkan tidak hilang setelah dicuci, mana mungkin tubuhnya menguarkan bau tidak sedap. "Ini juga harusnya mandi dari tadi kalau nggak kamu tahan!"

"Oh, iya. Maaf." Dena nyengir kuda menatap Angkasa, memperlihatkan gigi kelincinya. "Abisnya Mas Caca iya-iya aja sih kalau diajak ngomong!" kata Dena tanpa melunturkan cengiran khasnya.

'Iya-iya aja' dia bilang? Memangnya siapa sih yang selalu bilang 'Say Yes, Mas!'. Jangan lupakan tanda seru di belakangnya sebagai penekanan.

Dengan ekspresi frustrasi Angkasa manggut-manggut. Ia memilih berlalu ke kamarnya untuk mandi. Meladeni Si Cerewet Dena tidak akan menang dan tidak akan ada ujungnya.

"Oh iya, Mas!"

Seruan Dena itu membuat langkah Angkasa yang sudah di undakan tangga pertama berhenti. Dengan malas-malasan Angkasa menoleh, menatap Dena dengan pandangan sayu. "Apa?" tanyanya lemah, tidak punya stok tenaga lagi untuk menanggapi ketengilan Dena.

"Dena mau resign aja. Menurut Mas gimana?"

"Terus mau biarin mamamu marah-marah lagi karena kamu pengangguran?"

"Oh nggak. Dena mau nikah aja ... sama Mas."

Sontak Angkasa menepuk dahinya. Usianya memang sudah matang untuk menikah, tetapi Angkasa tidak asal menikahi perempuan hanya karena tuntutan usia. Toh, dia sekarang sedang dekat dengan salah satu karyawan di kantornya.

Menyadari ekspresi Angkasa yang sudah frustrasi akut, tawa Dena pecah. Puas sekali melihat tetangganya itu kelihatan keberatan isi kepala alias banyak pikiran.

Angkasa geleng-geleng, lantas kembali melangkah ke kamarnya.

Angkasa geleng-geleng, lantas kembali melangkah ke kamarnya

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.

VOTE!
KOMEN!
FOLLOW yuneverknow
IG: yuneverknow.world
Dreame/Innovel: yuneverknow
GoodNovel: yuneverknow

Bissmillah dikerjakan sampai tamat.

Sah dibayar vote dan komen.

Terima kasih

Cerita ini spin off Kissing Effect. Tapi tenang, kamu gak perlu baca Kissing Effect dulu kalau mau baca cerita ini karena mereka berdiri sendiri.

Oce

Selamat bermalam minggu para pejuang menunggu dilamar.

Eh canda lamar

Say Yes, Mas!Where stories live. Discover now