Episode 4 Mesmerize

ابدأ من البداية
                                    

Sea membaca satu persatu bio Hana di profil Instagramnya. Sembari menelisik foto kecil di atasnya. Untung saja akun itu tidak di-private sehingga Sea bebas membedah sampai ke akar. Dia bergulir dari atas ke bawah sambil membaca satu persatu caption yang ditulis Hana.

Tanpa terasa jarum jam sudah bergulir ke angka dua, jam 2 dini hari waktu Manado. Sea masih saja berkutat dengan dunia maya. Kali ini perasaannya beda, dia kembali terpesona pada sosok istri tentara bernama Hana.

Begitu apiknya Hana menggambarkan hidupnya. Menurut Sea, kehidupan pernikahan Hana sangat sempurna. Dia merangkum bagaimana paginya yang bahagia setiap hari. Memasak hidangan sehat untuk suaminya yang good looking. Dan satu poin, ternyata tentara itu nggak semua lekat dengan imej buluk dan berantakan. Saputra, Ergi, dan yang terbaru Gavin ternyata tidak. Mereka good looking tak kalah dengan pramugara rekan kerjanya, pikir Sea.

Sea kagum pada sosok Hana yang cekatan meski cantik dan menjaga penampilan. Saat memasak di dapur, Hana merekam wajahnya yang tetap cantik meski berkeringat. Saat dia bersama para istri tentara di kegiatan, Hana merekamnya dengan apik dan estetik. Sea pikir, bagaimana bisa wanita satu ini begitu sempurna.

Tangan Hana bak berisi mantra-mantra ajaib. Dia cantik, tapi ajaibnya bisa melakukan banyak pekerjaan rumahan. Tak segan menggores cat kukunya demi menyapu dan mengepel. Sea pikir, Hana sangat cekatan untuk ukuran supermodel. Banyak aktivitas rumahan dan kegiatan istri tentara yang dia bagikan di Instagram itu. Dan semua diikuti Hana tanpa ragu.

Pasti pernikahannya itu sangat sempurna, seperti impian gadis mana saja. Maka tepat sudah, Sea masuk ke dalam jajaran para gadis yang iri pada kehidupan sempurna Hana. Dia menatap dunia Hana dengan penuh sayang dan sikap optimis.

“Kenapa kisah orang pada uwu sih.” Sea memeluk ponselnya dengan perasaan tak menentu.

Dia pikir, kehidupannya sudah sempurna walau aslinya berantakan. Dia cantik, penuh pesona terutama saat memakai seragam maskapainya. Sea menarik, mandiri, dan penghasilannya besar. Kerjanya jalan-jalan, pindah kota bahkan benua, naik turun bumi dan langit dengan mudahnya. Meski lelah saja, Sea masih cantik dan memukau.

Ternyata masih ada yang jauh lebih mengagumkan dibanding dirinya, pikir Sea. Katanya, di atas Sea masih ada Hana. Seorang selebgram, istri dari tentara yang gagah dan tampan, dan wanita dengan tubuh mempesona. Hana adalah potret wanita sempurna, impian gadis lajang mana saja.

“Bersyukurlah Sea!” ucap Sea sekaligus tekadnya sembari menepuk dada. “Sialan, gue jadi pengen punya suami tentara!” kutuknya kemudian.

Sea mengacak-acak rambutnya. Dia mulai gusar karena ulahnya sendiri. Siapa suruh kepo, siapa suruh iseng, siapa suruh sesibuk ini? Dia sendiri, semua salahnya.

“Ah, kembali ke kenyataan! Tidur dan nanti kerja, ya, siapa tahu besok ada tentara jadi penumpang lagi, ‘kan?” tekadnya mulai melantur.

Sea mengacak-acak kepalanya sambil menghentak kaki mungilnya. Dia menarik kuat napasnya lalu mengembuskannya lagi. Harus mengendurkan keanehan itu kali ini, demi kenyataan. Sea sepakat bahwa termakan omongan sendiri itu seenak ini, baca: tak enak.

---

To The Bone” mengalun merdu nan pelan dari ponsel yang menyala di tepi kasur. Hanasarah tersenyum tipis sambil berjalan mengendap menuju tepi ranjang. Senyum usilnya mengembang saat melihat sang suami mulai menggeliat pelan. Tangan lembutnya menyibak sedikit demi sedikit selimut yang masih membungkus tubuh tegap Gavin. Lalu dengan manisnya, dia mengecup ujung hidung lancip Gavin. Mesra seperti pagi-pagi mereka yang biasa.

Gavin mengerjapkan matanya pelan. Senyum manisnya mulai terulas tatkala melihat Hana sudah sehat - setelah jatuh pingsan kemarin sore. Buktinya, dia bisa membangunkannya di pagi yang masih gelap pukul lima ini. Hana jua mengelus pipinya lembut, mesra seperti biasa. Cara Hana membangunkan Gavin masih sama sejak mereka kenal sepuluh tahun yang lalu, penuh kelembutan dan kasih sayang.

Morning, Honey …,” sapa Gavin sambil menggeram pelan. Dia menarik Hana dalam pelukannya. “Kamu cantik sekali mirip bidadari surga, Hana.”

Gavin kembali mengerling mata tajamnya seraya tersenyum tipis setelah menerbangkan mesra Hana ke udara. “Aku suka lagu itu. Serasa ingin memelukmu sejam lagi.” Pelukan Gavin makin erat.

Gavin juga tak ragu untuk menciumi pipi dan bibir sang istri. Cumbuannya terasa hangat saat menyapa leher Hana yang jenjang. Membuat wanita cantik itu merinding sekujur tubuh. Matanya mengerjap-ngerjap merasakan kenikmatan. Pernikahan mereka memang masih panas-panasnya.

Hana meronta pelan. “Bang, aku udah wudhu! Jadi batal, ‘kan! Ayo salat deh!” ajak Hana sambil tersipu bahagia. Sejenak dia menarik tangan sang suami malasnya dan tanpa ragu memukuli pantat Gavin dengan gemas.

“Solehahku, kamu udah sehat emang?” Gavin masih melancarkan suara manis pada Hana seraya sebuah belaian halus di rambut panjang istrinya.

“Udahlah, aku harus sehat supaya bisa minta ganti rugi sama Abang!” Hana mendelik kecil.

“Ganti rugi apa?” Gavin memandang Hana lembut. “Kamu selalu aja bangun lebih dulu daripada aku, aku kalah lagi yang ada,” omelnya kemudian.

“Gegara jadi istri Abang, aku jadi pingsan kemarin!” gerutu Hana manis sambil melipat-lipat ujung mukenanya.

Gavin mengelus kepala Hana penuh kasih. “Iya, siap, Honey! Mau apa?” bujuknya.

Hana mengerling matanya indah. “Aku mau anak!” ceplosnya.

Gavin mengubah raut mukanya menjadi serius. “Bukannya kamu yang nggak mau kemarin? Makanya kita masih pakai kondom,” ceplosnya polos.

Hana menghela napasnya, lalu memandang Gavin makin serius. “Jujur, aku pengen, Bang. Meskipun kontrak kerjaku masih banyak dan kesibukan masih bejibun. Mungkin dengan gitu kerjaan di Persit sedikit berkurang,” curahnya sambil meremas-remas selimut.

“Apa Persit mulai menyusahkanmu?” Gavin menelisik wajah sang istri.

“Sedikit.” Hana mencubit udara dengan jemarinya. Kemudian melepas senyumnya ke udara. Wajahnya masih sedikit lemas karena kemarin sore baru saja pingsan dan sempat mendapatkan pertolongan dari unit kesehatan asrama.

“Maaf, ya, kalau jadi istriku membuatmu susah,” sesal Gavin sambil mengelus-elus kepala belakang Hana.

“Nggak masalah, asal ada kompensasinya,” lanjut Hana sambil melirik tajam Gavin. Pura-pura kesal tentu saja.

Gavin meletakkan kepalanya di pangkuan Hana dan memandangnya lekat. “Mau apa … mau apa?”

“Tas mahal cukup kali, ya …,” Hana memandang awang-awang.

Hai, Sea! (End/Complete)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن