Summer passes and one remembers one's exuberance

1.3K 165 2
                                    

Fradella


Jakarta, Juni 2020

Jadi sejak hari di parkiran Kokas di mana dokter Ega tiba-tiba muncul di saat aku sedang dalam sambungan telepon dengan Kak Acen, aku belum kembali menghubungi kedua Kakakku itu ditambah dokter Ega juga tidak mengirimkan pesan apapun.

Malam itu ketika dokter Ega menawarkan uluran tangannya untuk mengantarku menemukan mobilku sendiri karena dengan bodohnya aku—Fradella Deolinda yang sudah berhasil menyelesaikan sekolah kedokterannya dan berhasil menjadi dokter yang akan segera mengambil spesialisasinya ini berbuat kebodohan di mana dia tidak bisa menemukan di mana mobilnya sendiri terparkir yang padahal dia sendiri yang memarkirkan mobil itu, aku menolak untuk menyambut uluran tangannya dan memilih untuk berjalan mengikutinya yang betul-betul mengantarku sampai ke depan mobil sedan putihku.

Lelaki itu tidak mengatakan apapun—sedikit pun tidak, dan hanya mengucapkan kalimat hati-hati setelah aku berhasil menyalakan mesin mobilku dan justru melesat pergi meninggalkan lelaki itu setelah mengucapkan rasa terima kasih.

Aku tahu itu terlihat menyebalkan dan aku memang sedikit menyesalinya, tapi... bukankah seharusnya dokter Ega juga bersuara kala itu jadi semua tidak akan sebegininya?

Kini aku baru saja selesai dengan shift jaga siang dan sedang berada di pinggir jalan dekat perumahan daerah Menteng, di dalam mobilku, menunggu martabak yang aku pesan untuk aku bawa sebagai buah tangan. Berencana untuk menyambangi rumah kedua Kakakku itu untuk... memberikan mereka sedikit penjelasan, perihal sambungan teleponku waktu lalu dengan Kak Acen.

Menimbang-nimbang sejak tadi apa yang akan aku bicarakan dengan Kakak iparku itu, terlebih Kak Acen. Apa aku membuat masalah baru? Tapi Kak Acen tidak mempermasalahkan soal dokter Ega dengan Kak Kina sama sekali, seolah mereka tidak pernah akan menuju ke arah yang serius. Aku juga bukannya ingin memunculkan masalah untuk mereka berdua, hanya saja itulah kegundahan yang mengganjal di hatiku sejak lama. Jadi aku bisa mengatakan kalau itu memang jadi terasa aneh sekarang.

Ketukan di jendela kiri mobilku menyadarkanku dari lamunan dan seorang lelaki paruh baya mengangkat satu kantung plastik besar di luar sana. Martabakku sudah siap.

"Terima kasih ya, Pak!" seruku setelah memberikannya uang bayaran dan seketika wangi martabak menyeruak di dalam mobil ku.

Dengan menyalakan radio agar bisa mendengarkan lagu-lagu dan membuatku untuk sedikit lebih relaks, sesampainya di rumah kedua Kakakku itu, aku mendapati mobil mereka yang sudah terparkir di carport yang menandakan kalau mereka sudah berada di rumah sekarang. Peruntunganku karena aku tidak harus menunggu mereka pulang lebih malam.

Mengetuk pintu dan memberi salam, Kak Kina muncul masih mengenakan setelan kerjanya dengan wajah lelah dan rambut terkuncir tak rapi.

"Hai, Del!" sapanya dengan senyum.

"Hai, Kak! Aku bawa martabak, nih." Aku mengangkat plastik berisi dua kotak martabak di tanganku.

Kak Kina menghembuskan napasnya dengan lega. "Aku lagi pusing cari makan delivery , Bibi nggak masak tadi karena aku pikir kita mau makan di luar aja, tapi yah... human error, aku lupa dan Arsen juga nggak ingat."

"Luckly, abangnya jualan." Balasku yang senang dengan instingku membawakan mereka martabak, setidaknya bisa dijadikan makan malam mereka.

"Yuk masuk," ajaknya yang langsung aku ikuti dengan melangkah memasuki rumah nyaman mereka ini. "Seeen, ada Della." Seruan Kak Kina terdengar setelah wanita itu menutup pintu.

Kak Acen muncul dari ruang televisi masih sama mengenakan kemeja kantornya yang lengkap.

"Eh, mampir, Del?"

Cardines Temporum | CompletedWhere stories live. Discover now