The color of winter is in the snow

1.1K 193 15
                                    


Ghava


Manila, Mei 2020

Kami sudah turun dari dalam taxi yang mengantar hanya sekitar 7 menit dari hotelku ke apartemen Moona di 5th Avenue. Sejak di dalam taxi, kami hanya saling terdiam dengan tanganku yang tak juga melepas genggaman pada wanita cantik di sampingku ini bahkan ketika kami sudah ada di dalam lift yang akan membawa kami ke lantai hunian Moona di lantai 17.

"Yaya is just a friend of mine." Akhirnya kalimat pertamaku keluar dari dalam mulutku karena wanita itu hanya terdiam tanpa mengatakan apapun padaku.

"Means, she's the same as me." Gumam Moona tanpa ragu.

"She's a new food blogger, has a project where she has to write about many foods in every corner of the world. My business with her is only about work, we're not directly involved in business, but... I can gain some benefits by going with her, you know... about Caimile." Jelasku.

Sejak awal pertimbanganku untuk pergi dengan Yaya adalah soal Caimile dan mengembangkannya tentu saja disamping aku juga ingin menambah banyak kolega dengan beberapa kenalan yang bisa aku temui di setiap perjalan kami, ditambah makanan dan jalan-jalan adalah hal yang menyenangkan jika dipadukan.

"You shouldn't have to explain anything either, am I right? Or you should?"

Ya, aku juga bingung dengan keadaan tadi ketika tiba-tiba Moona datang bahkan tanpa mengatakan apapun kepadaku, ditambah kelakuan Yaya yang seperti biasanya, menyebalkan dan out of the box. Semalam aku memang mengatakan kepada Moona di mana aku tinggal selagi di Manila secara wanita ini tahu aku sedang berada di sini karena postinganku pada hari pertama aku sampai di sini. Moona mengajakku bertemu untuk sekedar saling sapa, tapi aku memiliki jadwal yang harus aku lakukan bersama dengan Yaya untuk pergi ke beberapa tempat ditambah aku juga memiliki beberapa kolega di sini yang mana harus aku temui untuk membicarakan satu dan dua hal soal bisnis.

Akhirnya kemarin malam setelah aku dan Yaya selesai berkegiatan di luar hotel seharian, aku dikejutkan dengan kedatangan Moona hampir di jam 10 malam membawa kue, beberapa makanan dan minuman sampai akhirnya kami mengobrol banyak sampai tak terasa waktu sudah lebih dari tengah malam. Aku sudah meminta wanita itu untuk lebih baik menginap saja dan pulang besok pagi, tapi Moona tetaplah Moona yang keras kepalanya tidak bisa diubah dengan jentikan jari. Sampai pada akhirnya aku harus mengantarnya turun, menaiki taxi sampai ke apartemennya dengan selamat dini hari kemarin. Dan pagi hari tadi aku bangun sedikit terlambat karena harus merapikan isi hotelku sebelum benar-benar tidur dan mendapati pesan wanita itu yang sudah dikirimnya sejak semalam, tanpa aba-aba kalau dia akan berkunjung lagi. Aku juga tidak mengantisipasi dengan adanya Yaya yang pasti akan merecokiku sejak pagi, untungnya dia bisa mengurus hal-hal diluar kuasaku contohnya soal memesan sarapan meskipun dirinya harus makan bersamaku di dalam suite-ku.

"I don't know, I mean I'm not really sure."

"That woman is your friend, just like me now, right? She even kissed you, just like me."

Secepat aku mendengar soal ciuman, secepat itu aku berdecak sebal. "She really like to tease me." Terkadang aku bertanya-tanya, dari mana keberanian wanita itu datang untuk bisa mencium lelaki lebih dulu. Dua kali pula. "That kiss, was nothing. Different from the kisses we used to have." lanjutku.

Lagi pula Yaya bukan menciumku, that was just a peck. While what Moona and I did could be called a kiss, we even did it too often, back then when we were still together. I'm an expert at that one, tho.

Cardines Temporum | CompletedWhere stories live. Discover now