The color of summer is in the sun

992 164 20
                                    

Fradella


Jakarta, Juni 2020

"Eh, kok... itu?" Kak Akina yang berdiri di sisi kananku terpekik kecil ketika melihat sebuah sedan mewah hitam memasuki gerbang untuk mengisi satu slot parkir di carport paling dekat dengan gerbang yang terbuka lebar.

Aku, Kak Kina dan Kak Acen baru saja menyambut Bunda dan Ayah yang datang membawa banyak sekali paperbag berisikan makanan yang kami asumsikan mereka beli dengan mampir ke salah satu mall sebelum ke sini tadi. Kak Acen sudah ditarik oleh Ayah untuk membicarakan perihal lampu gantung kristal yang sudah tergantung di dekat tangga sampai di ruang televisi di lantai satu sebagai hadiah dari beliau untuk rumah baru ini. Bunda dan Kak Kina sedang seru membahas pot-pot tanaman anggrek berwarna ungu yang bunga-bunganya tumbuh dengan cantik hari ini dan seketika membuat Bunda tertarik untuk memilikinya. Sampai tanda-tanda datangnya mobil hitam itu yang masuk setelah berhenti sebentar di depan gerbang tadi membuat atensi kami beralih dengan menatap penasaran kepada tamu yang baru saja tiba itu. Yah, itu salah satu tamu yang menawarkan diri untuk datang hari ini—dokter Ega.

Sebenarnya aku juga sudah tahu kalau dokter Ega akan sampai tak lama setelah Ayah dan Bunda perkara sejak tadi dia sudah berisik mengirimkan aku pesan dengan pertanyaan apa dia sudah bisa datang ke sini atau belum? Padahal kalau memang niatnya bertamu dengan jadwal yang sudah aku berikan, dia bisa datang di waktu yang sudah tertera saja, tidak perlu meributkan ponselku dengan pesan-pesannya itu.

"Dokter Ega bukan, sih?" Kak Kina menyipitkan kedua matanya sembari bergumam, sejak tadi dirinya sadar kalau mobil hitam itu memang dikenali olehnya sampai seorang laki-laki dengan kemeja coklat dan celana jeans biru mudanya itu turun dari dalamnya. Corectly, he is.

"Iya." Jawabku singkat dengan mata tak lepas dari sosok lelaki yang sudah berjalan santai setelah menekan lock yang ada di tangannya sampai mobilnya berbunyi.

Hari ini dokter Ega terlihat berbeda, sampai aku menghembuskan napas berkali-kali semenjak tubuh tingginya itu terlihat keluar dari dalam mobil. Tidak, tidak perlu deskripsi ini itu, aku hanya akan menyimpulkan semuanya dalam satu kata, tampan. Cukup.

"Assalamualaikum," sapaan sopannya datang sementara aku, Bunda dan Kak Kina masih berdiri di teras depan dengan mata belum lepas dari sosok lelaki itu yang dengan sekejap sudah berdiri di depan kami semua dan menjawab salamnya dengan gumaman kami masing-masing. "Hai, Kin!" lanjutnya dengan senyuman ramah dan menyapa Bunda dengan anggukan kepala sopan.

"Dokter Ega..." Kak Kina tidak melanjutkan kalimatnya tapi justru melirik ke arahku dengan senggolan pelan sikunya di lengan atasku, yang sedang memperhatikan bagian rambut lelaki di depanku ini. Does he use pomade on his hair? Now?

"Aku yang undang."

"Saya yang mau datang."

Kami bersamaan mengeluarkan suara demi menghilangkan pertanyaan mengawang Kak Kina yang jelas bernada terkejut dan heran dengan kemunculan lelaki ini di sini, dan sudah pasti pertanyaannya tadi mengarah ke sana. Kak Acen sudah tahu tadi, tapi Kak Kina memang belum aku beritahu dan kubiarkan dia melihat sendiri kedatangan lelaki ini dan benar saja melihat wajah dan ekspresinya bahkan semenjak mobil hitam itu muncul, aku rasa benar pilihanku untuk tidak mengatakan perihal betapa berisiknya lelaki ini untuk bisa datang ke sini sekarang.

"Siang, dokter Ega." Bunda menyapa membuat suasana awkward sedetik tadi lumer dan seketika hilang. "Kita pernah sekali ketemu di Bandung, saya Bundanya Della sama Kina." Tangan Bunda terulur ramah yang langsung disambut dengan uluran tangan dokter Ega yang menjabat halus.

Cardines Temporum | CompletedWhere stories live. Discover now