Spring passes and one remembers one's innocence

1.2K 218 11
                                    

Geyatama


Jakarta, Juni 2020

Aku pulang lebih dulu ke Jakarta.

Setelah pagi itu aku kembali ke suite-ku dengan perasaan yang tidak bisa kugambarkan karena semua hal-hal tak menyenangkan terasa bersatu di dalam dadaku, jauh di lubuk hatiku yang terdalam sana, sebentar aku terdiam dan berpikir mungkin aku lebih baik menjernihkan pikiranku terlebih dahulu karena mungkin saja perkataan Ghava benar adanya kalau aku terlalu berlebihan kepada lelaki itu.

Ghava tidak suka aku menunggu dia di tempatnya, dia tidak suka aku memakai pakaiannya, dia tidak suka aku bertanya hal yang ingin aku ketahui darinya, kalau semua dipadukan maka kesimpulannya merujuk ke satu statement penting kalau dia tidak menyukaiku. Aku jelas merasakan kekecewaan itu, because I like him... as a guyso much. Tapi nyatanya lelaki itu seperti membuat bentengnya semakin tinggi agar tidak bisa aku luluhkan sedikit pun dengan cara yang selama ini aku gunakan untuk bisa mendekati hatinya. Aku memang sudah jatuh hati secara akut dengan lelaki satu itu.

Memesan tiket pulang setelah menghubungi Sagi kalau aku akan segera kembali ke Jakarta agar dia bisa mengurus perihal pertemuan kami untuk brand yang aku gunakan sebagai sponsor pekerjaanku kali ini. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk bersantai setelah tiket pesawat berhasil aku dapati untuk siang ini pukul 1 nanti. Sekarang sudah jam 9 dan aku harus bergegas berberes agar jam 10 nanti aku bisa berangkat ke bandara.

Soal Ghava...

I'll leave him here alone. I'll leave without saying anything to him. Biarlah aku lagi-lagi dikatakan berlebihan, tapi kalaupun aku meninggalkannya di sini, dia tidak akan kepusingan mencariku karena aku sudah sempat membicarakan soal pulang ke Jakarta kemarin bersamanya.

Sedang menutup koperku setelah semua barang kembali masuk dengan rapi, suara ketukan pintu di depan terdengar dan membuat jantungku sedikit berdetak cepat. Tidak mungkin Ghava, kan?

Berlari dengan cepat untuk bisa membuka pintu, aku justru mendapati seorang petugas hotel yang membawakan troli makanan sedang berdiri dengan santun di depan pintu.

"Good morning, Miss. Here's the breakfast you ordered before, for the menu we prepare the fastest are mushroom soup with—"

Aku memotong ucapan sang pelayan yang sedang menjelaskan menu sarapan yang dibawanya itu.

"Wait, I didn't order breakfast to be delivered here, maybe you're in the wrong room?" jelas aku heran. Aku bahkan tidak memesan apapun untuk bisa aku makan sekarang karena makanan kemarin di meja makan dapur suite Ghava saja tidak tersentuh sedikit pun. Aku memang lapar, tapi aku tidak selapar itu dan bisa aku ganjal dengan roti dan susu sampai aku tiba di bandara nanti.

Sang pelayan mengambil kertas yang ada di atas troli dan membacanya. "Oh no, Miss. 531..." kepalanya menoleh ke arah nomor yang menempel di dinding dekat pintu. "This is indeed an order from this room."

Well, am I not sober enough to remember that maybe I grabbed the receiver earlier to call the crew hotel so they could send me this breakfast? No way, I don't think it's possible. I didn't sleep all night but I'm still sober enough to do things according to my brain's orders.

"Em, I'm going to vacate this room in a bit, so I don't have much time to eat. You can take this food again. I'm sorry." Dengan senyuman tak nyaman aku mengatakan kalimat tersebut.

Setelah sang pelayan menyetujui titahku tersebut, aku menutup pintu dan bergegas untuk bersiap. Mungkin itu Ghava yang memesankan sarapan untukku setelah tahu kalau sarapan kami kemarin tidak tersentuh sedikit pun di atas meja makannya, but going back to all the tangled things in my head and heart, I just let it go to waste.

Cardines Temporum | CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang