Sure, because...

1.2K 220 3
                                    

Because winter let the snowfall


Ghava


Manila, April 2020

"Here is a chicken adobo, and this one adobo with coconut milk cream." Pelayan lelaki yang melayani kami tadi meletakan dua buang mangkuk besar berisikan nasi dengan potongan besar daging-daging ayam di atasnya ke atas meja di mana aku dan Yaya tempati untuk makan siang pertama kami di Manila.

Wanita itu sudah sibuk mengambil kameranya dari atas meja dan mulai memotret dari segala sisi makanan yang sedang dihidangkan di atas meja kami setelah tadi aku juga membantunya mengambil gambar dari luar restoran sampai interior dalam ruangan yang aku potret untuk dokumentasi pekerjaannya.

"Is this the one that using the traditional spices?" Aku menunjuk salah satu mangkuk dengan potongan daging berwarna kecoklatan dengan bumbu yang sudah menyerap ke dagingnya.

"Ya, this dish of meat is cooked in vinegar and soy sauce. Served with no so deep fried." jawab pelayan itu dengan ramah dan masih menata meja kami dengan beberapa piring berisikan potongan buah dan juga dua gelas minuman segar. "Is there anything I can help you with before I leave you to enjoy your dish, Sir?" tanyanya setelah selesai dengan rapi menata meja kami dan langsung aku berikan senyuman tak kalah ramah.

"Not for now, thank you." balasku.

"With pleasure. If there's anything you want to add, you can call me. Enjoy your dish Sir, Madam." Pelayan itu berlalu setelahnya dengan senyuman pada wajahnya.

"Aku suka pelayanan mereka, even it's not a fine dining." Restoran ini adalah pilihanku yang dimasukkan oleh Yaya ke dalam draft list makanan Manila yang harus kami coba. Restoran casual dining yang ada di daerah 5 Greenbelt ini berjarak sekitar 5 kilo dari hotel kami yang ada di 30th street, aku sudah memperhitungkan jarak waktu tempuh yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit setelah kami beristirahat di hotel sesampainya kami di Manila sejak pukul 6 pagi tadi.

"It has become their job obligation and responsibility." balasku sembari membasuh kedua tangan dengan sebuah kain basah yang sempat diberikan pelayan tadi dan dengan segera mengangkat garpu dan sendok milikku untuk siap menyantap hidangan. "Choose, Ya." Titahku dengan mengedikkan dagu ke arah dua buah mangkuk di depan kami.

"Kamu udah pernah coba yang mana?" tanyanya.

Aku memang sempat mengatakan kepada Yaya kalau aku pernah mencicipi adobo khas Manila ketika aku mendapatkan undangan makan malam di hotel Shangri-La Jakarta ketika ada salah satu chef dari Manila didatangkan langsung ke Jakarta untuk menyajikan berbagai makanan khas Manila. Dari sanalah aku tahu beberapa makanan khas Manila dan bertemu beberapa kolega dari negara ini.

"A traditional one."

"Well, try another one then." Tangan wanita itu meraih semangkuk adobo tanpa cream putih di atasnya dan membiarkan aku yang mencoba potongan daging ayam dengan siraman cream putih di atasnya.

"This dish sort of made into a rich looking creamy coconut milk sauce." Aku ikut mengangkat mangkuk lainnya mendekat ke arahku. "The original one is so fantastic. Nanti di hotel kamu bisa pesan lagi karena waktu lalu yang aku cobain di Jakarta itu chef-nya dari hotel kita di sini."

Itulah sebabnya aku memilih hotel yang kami tempati untuk lima hari ke depan di Manila karena aku juga akan bersilaturahmi dengan chef yang ku kenal waktu lalu.

Cardines Temporum | CompletedWhere stories live. Discover now