The color of autumn is in the leaves

1.1K 152 6
                                    


Legawa


Jakarta, Juni 2020

"Mau kemana?" Aku sedang duduk manis di salah satu kursi meja makan rumah Kakakku satu-satunya ketika melihat lelaki itu sudah rapi dan wangi menggunakan pakaian olahraga, Nike dri-fit hitam superset atas bawah sudah terpasang pada tubuh tingginya.

Lelaki itu baru tiba di lantai satu di mana terhubung dengan ruang televisi yang besar dan tak jauh dari meja makan di mana aku sedang duduk dilayani oleh sang asisten rumah tangga yang sudah menyuguhiku secangkir teh hangat dan roti panggang di atas piring kecil. Kini Angga sedang melakukan pergerakan pemanasan di dekat sofa televisi, meregangkan tangan dan kedua kakinya.

"Olahraga," jawabnya singkat. "Lo nggak ke rumah sakit?"

Aku tahu lelaki ini pasti heran karena sepagi ini aku sudah tiba di rumah besarnya di Pondok Indah ini, setelah lebih dari tiga bulan bahkan aku jarang berkunjung ke sini. Dibanding aku, justru Kakakku itu yang sering kali mampir ke rumah minimalisku yang benar-benar aku huni sendiri dengan asisten yang datang dan pergi bahkan dalam seminggu jarang bertemu denganku. Berbeda denganku, Angga justru memilih rumah megah di Pondok Indah ini untuk dia tinggali bersama satu asisten rumah tangga tetap dan juga seorang supir.

Keberadaanku pagi ini di rumahnya juga bukan karena aku iseng atau tidak ada kerjaan, hanya saja sebagai saudara yang baik aku seperti punya keharusan untuk berkunjung ke sini dan bersantai sebentar yang biasanya juga kami isi dengan sedikit berbincang sembari makan atau menonton pertandingan olahraga di televisi.

"Mungkin nanti agak sorean mampir ke rumah sakit."

"Free banget nih kayaknya hari ini? Eh, by the way waktu kapan itu Pak Samsul lo suruh ambil mobil siapa? Katanya kok nganternya ke daerah Kuningan?"

Ah! Hari itu.

Aku memang menghubungi Kakakku untuk meminta izin meminjam sang supir untuk aku mintai pertolongan mengambil mobil Fradella di rumah sakit saat aku akan mengantarnya pulang setelah dia selesai dengan praktik jaga malamnya. Melihat matanya yang lelah pagi itu aku sedikit dibuat bergidik membayangkan dia harus menyetir seorang diri, aku pikir itu bisa membahayakan walaupun seharusnya dia sudah terbiasa dan bisa menyiasati dengan menyetir perlahan atau hati-hati. Hanya saja aku sedikit memaksanya pagi itu, anggap saja hari itu adalah hari bebasnya untuk berusaha keras membuka mata di sepanjang perjalanan ke rumah sembari menyetir dengan aku supiri.

"A woman," jawabku dengan sengaja sampai Angga menghentikan gerakannya dan berjalan mendekatiku. Bisa aku lihat wajahnya tertarik setelah mendengar jawabanku, padahal aku sangat yakin kalau Pak Samsul pun sudah membawa kabar kepadanya kalau mobil itu diterima oleh seorang wanita yang adalah dokter di rumah sakit yang sama denganku. Fradella sendiri yang mengatakan itu kalau dia memperkenalkan dirinya sebagai dokter di rumah sakit di mana Pak Samsul mengambil mobilnya itu.

"I heard she's also a doctor?" Ya, kan? Dia sudah tahu.

"Yes, dokter umum IGD di Pondok Indah."

Wajahnya dibuat-buat seolah memahami itu tapi aku tahu ada mimik berupa ledekan di sana. Setua apapun kami, hal-hal seperti ini pasti ada momennya.

"A woman, a doctor." Kepalanya manggut-manggut sembari bergumam. "Umur berapa?"

"Apa korelasinya, tuh?"

Kedua bahunya menggedik tak acuh. "Dokter umum IGD you said, masih muda?"

Aku membalas dengan dengusan, otaknya terlalu kritis. "Tahun ini dia mau ambil spesialis, and yes she still young but..." aku rasa dia tidak terlalu jauh terpaut jarak usia dariku.

Cardines Temporum | CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang