26. Can't Help Falling in Love With You

1.4K 307 95
                                    

Aku mengangkat pancake terakhir yang sudah matang sempurna dan meletakkannya di atas piring. Kepalaku agak berdenyut karena semalam aku hanya tidur selama dua jam. Berulang kali aku menoleh ke arah pintu, mempertanyakan alasan mengapa Mark belum muncul juga. Tidak biasanya ia bangun siang.

Sejak kejadian semalam, aku belum melihat Mark sama sekali. Ia benar-benar tidur di studio dan belum juga keluar dari ruangan itu. Pancake dan kopi hitamnya sudah siap, aku harus membangunkannya meski membayangkan aku harus menghadapinya pagi ini membuat nyaliku menciut.

Setelah apa yang terjadi di koridor, bagaimana mungkin aku sanggup menatap Mark?

Tapi aku tidak ingin memperumit situasi dengan menghindarinya lagi. Toh semua sudah terjadi. Memang berapa lama aku bisa terus menjaga jarak sedangkan kami tinggal seatap seperti ini?

Terserah apa yang dirasakan Mark, atau yang dipikirkannya. Aku mencintainya. Aku akan mengesampingkan kecamuk dalam diriku dan bergegas menghampiri ruang studio. Aku justru akan digelayuti rasa khawatir jika Mark tidak turun untuk sarapan.

Kutapaki setiap anak tangga kayu dengan langkah agak gontai. Aku mengkeret saat berdiri di depan pintu studio. Kugigit bibir bawahku sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk. Pelan sekali.

Aku baru akan mengetuk untuk yang kedua kalinya saat pintu akhirnya mengayun terbuka. Jantungku berderap. Mark menunjukkan diri. Rambutnya cukup acak-acakan sedangkan kemeja yang dipakainya semalam terlihat lumayan kusut karena dipakai untuk tidur. Caranya menatapku sulit untuk kuabaikan, semuanya campur aduk di matanya; agak terkejut, lega, tapi juga ada sisa rasa bersalah.

Melihat Mark pagi ini membuat darahku berdesir. Aku berusaha melawan memori kecil akan kejadian di antara kami semalam yang mulai menyeruak di dalam benakku.


Koridor, pengakuan, dan...


Aku menjernihkan kepalaku, lalu sekilas melirik meja kerja Mark dari celah pintu yang terbuka. Ternyata ia terlambat turun karena sedang mengerjakan sesuatu.

"Sarapan sudah siap," gumamku pelan sekali. "Kau mau turun atau kubawakan saja sarapanmu ke sini?" Aku berupaya terdengar ramah.

Mark tersenyum samar. "Aku makan di bawah saja."

Aku mengangguk dan berjalan mendahului Mark. Ia menyusul selangkah di belakangku. Tidak ada satupun di antara kami yang berbicara hingga kami tiba di dapur.

Mark duduk di kursinya, dekat sekali denganku. Aku tetap mengatur posisi sarapan seperti biasa untuk memberi kesan normal. Diam-diam, aku memperhatikan Mark yang mulai melahap suapan pertamanya. Ia tampak berselera, namun wajahnya terlihat agak lelah. Pasti ia belum mandi karena berganti pakaian pun tidak. Padahal, semalam aku tidak mengunci pintu.

Mark mengangkat wajah setelah menyadari sedang kuperhatikan. Ia memandangku lama. "Kau tampak kurang tidur."

Sontak, aku menundukkan wajah. Pancake-ku belum tersentuh sama sekali. Aroma vanila yang keluar dari uap hangatnya tidak menggugah rasa laparku kali ini.

Aku tidak ingin Mark menyadari itu.

"Maafkan aku," ucap Mark dengan suara serak. Ia sudah sepenuhnya mengabaikan sarapannya sekarang. Kedua legannya diletakkan di atas meja dengan jemari saling bertaut. "Semalam aku kehilangan kendali diri."

Perutku menegang mendengar itu. Melihat Mark menghujaniku dengan tatapan bersalah membuat dadaku sesak.

Aku mengangguk lemah. "Aku juga minta maaf." Aku berucap parau.

Mark terlihat agak terkejut. "Untuk apa?"

"Aku mengacaukan banyak hal." Aku masih menunduk memandangi lubang-lubang mungil pada permukaan pancake. "Dan aku bersikap kasar tadi malam."

In A Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang