38. Rumah Sakit

39K 7.6K 4.2K
                                    

Emang gak ada part mereka jadian. Tapi mereka tu tipenya kaya, yaudah. Saling suka, mau gimanapun ya gitu. Apalagi Allard yang udah nembak. Gak usah jaim jaim. Gitulah

Kek, mau diakuin pacar apa kagak yang penting pede dulu.

****

"Satu dua tiga."

"Lu ngapa sih anjir?" tanya Lintang gedeg pada Rio yang menghitung dari tadi.

"Ngitung kacang," balas Rio cuek.

Allard yang ada disana hanya diam menatap Erlan tajam. Sedangkan Erlan yang ditatap tampak santai memakan nasi goreng tak menghiraukan Allard sama sekali.

Oke, Allard mengerti ucapan Seina semalam. Mungkin saja Erlan tak tau masalah ini. Tapi dia benar-benar masih kesal dengan cowok itu.

"Lard lo kenapa? Sante aja dong natepnya, mata lo mau copot!" ujar Andra menabok lengan Allard keras.

"Lihatin orang nggak tau diri."

Mereka menganga mendengar perkataan Allard. Nareh yang duduknya menghadap Allard mengernyit. "Gua?" tanyanya bingung.

"WAH ANJIR!! LO GELUD SAMA SI ERLAN?!" teriak Lintang yang langsung paham.

Kini meja mereka menjadi perhatian anak-anak dikantin. Lintang langsung melotot tajam. "GAK USAH KEPO LU PADA!!"

"Ya Allah, Allard. Inget, lo dulu kecilnya main sama siapa. Pasti pernah mandi bareng."

"Ngapa yang itu sih goblok," umpat Rio pada Lintang.

"Kenapa? Lo berdua punya masalah apa?" tanya Naresh serius. Tatapanya beralih mencibir kala Allard hanya menatap mereka sinis dan Erlan yang anteng-anteng makan.

"Ya terserah sih, yang penting inget ajalah. Lo berdua itu temenan, jangan sampai masalah sepele ngehancurin persahabatan. Gitu aja," ujar Naresh menasehati.

Erlan menaruh sendoknya dengan sedikit keras. Cowok itu menyingkirkan piring yang sudah kosong. Lalu pergi berlalu begitu saja membuat mereka yang ada di meja hanya terdiam.

"Masalah serius ya Lard?" tanya Rio melihat gelagat Erlan.

Allard hanya mengedikkan bahu acuh.

****

"Kamu tunjukin foto Seina sama foto perempuan yang saya kasih ke Ibu itu. Dan kalau dia benar-benar ngaku, bawa kesini. Saya gak nyusul, males. Diluar kota kan?" Allard menyingkir untuk mengangkat telfon.

"Siap."

Mata Allard menajam, mematikan ponselnya saat telfon sudah berakhir. Cowok itu menghampiri Erlan yang berada didepan loker.

"Lo tau rasanya?"

Erlan tampak kaget. Cowok itu menoleh. Menaikkan satu alisnya menanggapi.

"Orang yang gue percaya dari dulu ternyata kaya gini."

"Gue?" sinis Erlan.

Allard menghela nafas. "Oke, mungkin bukan elo. Gimana dengan keluarga lo? Mereka yang selalu bilang bakal ngerawat gue, menyayangi gue, dan tiba-tiba gue tau kalau mereka ada sangkut pautnya sama kematian Mama," ujar Allard berat.

"Gue tau keadaan keluarga kita sama Lan. Sama-sama hancur. Bedanya gue udah nggak punya orang yang selalu ada buat gue. Mama. Dan lo masih punya Bunda kan?" Allard berujar dengan nada iri. Cowok itu masih menatap Erlan dengan tenang.

"Gue tau kenapa lo mati-matian jagain Aurel karena suruhan Papa. Kenapa? Lo takut kalau kebusukan keluarga lo kebongkar?"

Erlan menutup pintu loker dengan keras. Cowok itu menatap Allard tajam. Menepuk bahu Allard pelan.

Our Destiny [END]Where stories live. Discover now