26 : Akhirnya ... (1)

3.5K 545 92
                                    

Jesicca masih sendiri di ruang kelasnya pagi ini. Waktu memang masih terlalu pagi, bahkan murid terdisiplin pun kalah dengan Jesicca yang sudah menginjakkan kaki di kelas sejak pukul enam kurang.

Bukan tanpa alasan gadis itu memilih berangkat sepagi itu, suara rintik hujan yang cukup deraslah yang menjadi alasannya. Ia benci melihat jalanan yang basah dan licin, lebih baik berangkat lebih awal daripada terjebak hujan nantinya.

Menatap ke bangku sebelahnya, rasa rindu kembali menyerang Jesicca. Dirinya teringat akan Hana yang tak kunjung kembali, omong-omong, hari ini adalah hari terakhir ujian.

Beralih ke bangku di hadapannya, otak Jesicca sedikit memutar kejadian dua hari yang lalu, saat di mana ia harus membuat dua anak kecil berbaikan.

Dua hari sebelumnya

"Gimana, Om?"

"Masih tidak mau saling berbicara. Kamu berangkat duluan saja, nanti kalau mereka tetap menolak biar saya paksa," ucap ayah Garda.

Hari ini, tepat tadi pagi, Nina—ibu Hana— menelpon Jesicca dan mengajak gadis itu sekaligus Devo dan Garda untuk menginap. Hal itu tentu saja Jesicca terima, tak peduli bahwa ia masih ujian, toh bisa belajar dari rumah Hana.

Namun, masalah besarnya ternyata ada pada dua lelaki itu.

"Jesicca izin masuk ya, Om?" ucap Jesicca lalu bergerak membuka pintu itu setelah ayah Garda mengangguk pelan.

Dua lelaki itu menatap pada Jesicca yang baru masuk, kemudian kembali sibuk pada pikiran masing-masing.

Jesicca tersenyum geli, bagaimana tidak? Tingkah dua lelaki itu persis seperti anak kecil. Mereka sama-sama duduk di sisi kanan ranjang Garda. Pemilik kamar ada di dekat kepala ranjang, sedangkan Devo berada di ujung ranjang lengkap dengan tangan menyilang dan bibir mengerucutnya.

"Masih pada marahan?"

Tak ada jawaban dari pertanyaan Jesicca membuat gadis itu menghela napas, sekarang harus bagaimana?

"Garda, coba lo bayangin ada di posisi Devo. Ngeliat abang sahabatnya dibunuh, terus diancem sama si pembunuh bahwa lo akan tinggal nama kalo buka suara, lo pasti takut, 'kan?"

Kemudian Jesicca beralih pada Devo.

"Buat lo, Dev. Coba bayangin, lo ke sana ke mari nyari jawaban perihal kematian abang lo, tapi ternyata sahabat lo sendiri yang nyembunyiin hal sebesar itu, lo pasti sakit hati, 'kan?"

Lagi, tak ada jawaban dari keduanya. Namun, Jesicca merasa lega karena dari yang ia lihat, ekspresi dua lelaki itu terlihat seperti sedikit menyesal, entahlah.

"Setidaknya pikirin Hana, walau gue tau ayah Devo udah turun tangan buat bantu nyari, tapi sebelum ada kabar baik tentang Hana, gue tetap gak bisa tenang." Jesicca berhenti sebentar, mengambil pasokan oksigen sebelum kembali buka suara.

"Apalagi orang tua Hana, terlebih ibunya. Dia pasti ngajak kita nginep, ya karena kangen banget sama anaknya, mungkin dengan ngeliat kita rasa kangen dia bisa sedikit terobati."

Jesicca tersenyum bangga, bijak sekali dirinya. Terlebih setelah ia menutup mulut, tangan Devo terulur walaupun wajahnya masih tak sudi berhadapan dengan Garda.

"Maaf, gue benaran gak ada maksud buat jadi pengkhianat. Gue beneran takut, dan gue pikir juga kalo gue buka suara, belum tentu ada yang percaya. Maaf, Gar," ucap Devo.

"MEREKA" ADA ✔️Where stories live. Discover now