23. Stormy Heart

Mulai dari awal
                                    

"Tapi aku tidak menyukai foto elang itu." Aku menggerutu.

Mark mengerling foto yang masih diacungkannya ke udara. "Dan aku tidak menyukai potret diriku dalam foto ini."

Aku belum berniat untuk menyerah. Aku melesat lagi, berusaha merebut foto itu dari tangan Mark. Sayangnya, Mark masih berniat untuk mempermainkanku. Ia bermanuver, memutar tubuhnya, mengangkat foto ke udara hingga aku harus berjinjit-jinjit.

Aku berusaha mengimbangi kecepatan gerakan Mark, tapi ternyata itu adalah tindakan fatal. Aku tersandung kakiku sendiri hingga kehilangan keseimbangan dan mulai oleng ke belakang.

Kupejamkan mataku, bersiap untuk merasakan kerasnya permukaan lantai. Tapi yang terjadi selanjutnya justru berbeda; aku menyadari ada dua lengan kokoh menahan jatuhku.

Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Mark sedang membungkuk di atasku. Aku bisa merasakan hembusan napasnya yang hangat. Tatapan kami saling mengikat. Jantungku seperti ingin melompat keluar. Laju waktu seolah tiba-tiba membeku.

Aku menyadari salah satu tanganku berpegangan erat pada lengan atas Mark, seolah-olah Mark adalah harapan terakhir yang dapat menyelamatkanku dari sesuatu yang berbahaya; dari jatuh ke jurang hitam yang dasarnya dipenuhi bebatuan tajam. Sementara itu, kedua lengan Mark masih memaut tubuhku. Aroma mint dan sandalwood terasa begitu dekat. Membius.

Mark memiringkan kepalanya, membuat dadaku langsung terasa menciut dan disesaki kepak kupu-kupu. Sorot kedua manik biru itu menghujamku dengan cara berbeda, yang belum pernah kulihat selama ini; seperti mendamba sekaligus putus asa.

Selama sepersekian detik, pikiranku seperti berkabut. Aku cepat-cepat mengumpulkan kesadaranku yang carut-marut dan bergegas menegakkan tubuh, kembali berdiri di atas kedua kakiku lalu mundur selangkah. Aku berani bertaruh bahwa pipiku sekarang pasti sudah semerah tomat yang kelewat matang.

Mark tampak terkejut karena aku bergerak begitu mendadak dan melepaskan diri darinya. Tapi kemudian, aku melihat salah satu sudut bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman memahami. "Hati-hati, Clavina."

Kerongkonganku terasa kering. Bernapas saja rasanya terasa begitu sulit setelah apa yang terjadi.

"Maaf," ucapku kikuk. Aku sama sekali tidak berani menatap lawan bicaraku.

"Untuk apa?"

Aku menelusupkan sejumput rambut ke belakang telinga, salah tingkah. Wajahku masih terasa dialiri sesuatu yang panas. "Motorikku payah."

Aku payah dalam segala hal; terutama menghadapi Mark.

"Jangan khawatirkan itu."

Aku melihat Mark mengulurkan foto yang sedari tadi kami perebutkan. Akhirnya tatapan kami saling bertemu lagi.

"Milikmu." Mark tersenyum simpul.

Kuterima foto itu, merasa sangat lega. "Trims."

"Clavina..."

"Ya?" sahutku lirih, penuh antisipasi.

"Mau ikut aku ke studio?"

Jantungku berulah lagi. Ya ampun, aku tidak mungkin bisa berduaan saja bersama Mark setelah apa yang terjadi.

"Uh... aku..." Kalimatku menggantung di udara selama dua hela napas. "Aku sedang punya target membaca. Aku ingin ke perpustakaan saja setelah ini."

"Mau kutemani?"

Aku langsung gelagapan. "Kurasa tidak perlu. Aku butuh keheningan untuk berkonsentrasi. Maksudku, kau bukannya akan mengganggu. Aku hanya⸺"

"Kau tidak perlu repot-repot berusaha menjelaskannya kepadaku," potong Mark dengan nada penuh pengertian. "Aku akan memberimu ruang. Jangan khawatirkan itu."

Aku mencari-cari jejak rasa ketersinggungan yang mungkin dapat kutemukan pada air muka Mark. Tapi tidak ada, ia hanya tersenyum samar. Matanya menatapku seperti seorang kakak laki-laki yang sedang memaklumi apa yang kupilih.

Aku mengangguk kecil. "Kalau begitu sampai nanti," ucapku seraya berjalan canggung melewati Mark. Tanganku memegangi tepian foto polaroid erat-erat. Entahlah, aku sendiri tidak yakin apakah itu adalah ucapan yang tepat.

"Sampai nanti."

Aku mengembuskan napas luar biasa panjang dan berat setelah tiba di ruang perpustakaan. Pikiranku berkecamuk.

Apa itu tadi?

Itu seperti bukan sebatas insiden aku hampir terjatuh dan Mark menangkapku. Ada sesuatu yang lain.

Mark sempat terlihat berbeda. Sebelum ini, ia selalu terlihat seperti menguasai situasi setiap kali berada di dekatku. Tapi tadi, selama sepersekian detik, aku melihat kilatan lain dalam matanya.

Kuhirup dalam-dalam aroma buku di sekelilingku, berharap itu bisa memberikan rasa nyaman. Tapi tidak, bau khas kertas-kertas dan sampul tua hanya lewat sambil lalu tanpa meninggalkan kesan apa pun.

Ada sesuatu yang tidak dapat kupungkiri kebenarannya; kian hari, lapisan pembatas yang memisahkanku dengan Mark terasa semakin tipis. Gagasan bahwa kami akan menjalani pernikahan ini secara kasual, layaknya dua orang teman, sepertinya semakin kehilangan maknanya. Memudar seiring waktu.

Tapi siapa sebenarnya yang mengikis lapisan pembatas itu sedikit demi sedikit?

Mark?

Ia memang terus berusaha membuatku merasa 'ditemani' di rumah ini, tapi ia juga selalu siap memberiku ruang dan jarak setiap kali aku memerlukannya. Aku mungkin tidak selalu mengatakannya, tapi Mark selalu paham setiap kali aku menarik diri. Ia berusaha menumbuhkan persahabatan dan rasa nyaman di antara kami, tapi ia tidak pernah memaksakan sesuatu.

Atau, mungkinkah ini hanya perasaanku saja?

Aku tidak pernah cukup dekat dengan laki-laki, apalagi hidup seatap seperti ini. Aku tidak bisa memahami isi pikiran Mark. Mungkinkah ini semua hanyalah sikap 'ramah-tamah' semata? Karena sedari awal, ia memang ingin aku perlahan menyembuhkan diri dari luka batinku. Ia ingin membantuku.

Mungkin, ia hanya bersikap bersahabat.

Dan aku sepertinya mulai salah menerjemahkan apa yang sedang kami jalani.

Mungkin aku salah, tidak ada yang berbeda pada Mark. Tidak ada yang berubah di sini selain perasaanku sendiri.

Kutumpukan lenganku di atas meja. Buku Tale of Two Cities di hadapanku sudah sepenuhnya kuabaikan. Tatapanku justru terpaku pada foto polaroid yang mengabadikan wujud Mark. Sosok yang diam abadi dalam kertas itu mengirimkan badai pada bilik-bilik jantungku.

Ikatan pernikahan ini dimulai tanpa adanya perasaan. Tapi kini aku mulai mencemaskan satu hal; sepertinya di antara kami, aku yang lebih dahulu 'jatuh'.

Bagaimana jika hingga nanti hanya aku?

Aku masih ingat Mark pernah mengatakan bahwa ia akan mengesampingkan perasaannya demi tetap melangsungkan pernikahan kami. Meski ia tidak mencintaiku.

Tapi aku tidak ingat ia pernah mengatakan bahwa ia akan membiarkan perasaannya berubah, dari yang tak berdenyut menjadi berdegup.

Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu mirip gumpalan yang terasa menyakitkan di tenggorokanku. Kedua mataku memanas.

Aku sudah retak setelah mengalami serangkaian tragedi. Dan aku tidak ingin membiarkan yang tersisa pada diriku remuk; karena patah hati.





[Bersambung]








In A Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang