30. Guru yang baik

2.8K 946 133
                                    

Apa mereka serius?

Ini belum lima menit tapi mereka semua sudah jatuh seperti itu dan terlihat sangat sulit untuk bangun. Mereka membuat Al berdecak sambil menggelengkan kepala. Sangat membosankan. Awalnya memang hanya satu yang sok mau menghajar Al. Tapi ketika satu orang itu mendapat satu pukulan sampai membuat seisi mulutnya berdarah, akhirnya keempat orang itu ikut maju.

Di pukulan pertama tadi Al tidak sengaja memusatkan kekuatan berlebihan di tangannya. Tapi setelahnya dia lebih bisa mengontrol agar setidaknya besok mereka masih bisa berangkat sekolah.

Namun sangat disayangkan, dengan pukulan selembut itu saja mereka tetap tidak berdaya. Rupanya si Bright ini tidak terlalu serius karena hanya mengirimkan tikus-tikus kecil seperti mereka.

"Kalian inget pertaruhan tadi, kan?! Atau kalian belum nyerah dan mau lanjut ronde ke dua?"

Mereka langsung bergerak mundur dan berlari menuju pintu. Huh, senior yang memalukan. Pikir Al.

"Bright gak akan biarin lo lolos."

Itu adalah kalimat seorang antagonis.

"Gue tunggu dia dateng," kata Al, santai. Lalu mengambil tasnya dan memakai jasnya lagi. Hah, kalau tahu akan secepat ini, untuk apa dia melepaskan seragamnya. Bahkan kemejanya tidak kotor sama sekali karena tidak ada yang berhasil menyentuhnya. Tapi buku jarinya lumayan memerah. Beberapa dari mereka punya rahang yang keras.

***

Tidak ikut eskul dan malah jadi penonton dengan duduk manis di antara jejeran kursi itu. Tidak heran guru olahraga yang menjadi pelatihnya kini mendatanginya dengan ekspresi kesal. Tapi itu bukan masalah bagi Al. Karena Al bisa membuatnya menjadi lebih kesal dengan hanya diam saja tanpa mempedulikan amarahnya.

"Bagus, yah, bagus. Saya baru lihat anak yang bolos eskul malah jadi penonton kaya kamu."

Al hanya meliriknya sebentar sambil tersenyum tipis. Lihatlah, pria berusia akhir dua puluh tahunan itu hanya menghela napas lelah. Dan dia malah ikut bergabung duduk di sebelah Al sambil membuka botol minumnya. Tampaknya tugas melatih ia serahkan pada El yang terlihat sibuk di sana.

"Tangan kamu kenapa?"

Mendengar pertanyaan itu, Al langsung membungkus buku jarinya dengan tangan kirinya.

"Bukan apa-apa," jawabnya, karena tak mungkin mengabaikan pertanyaan itu.

"Kenapa kamu gak ikut eskul beladiri, Al?"

Pria yang merupakan gurunya ini bicara sangat santai. Memang kepribadiannya seperti itu. Dia mengajar murid-muridnya seperti seorang teman. Jadi semua murid menjadi nyaman berinteraksi dengannya.

"Repot."

Pak Hendrik berdecih. Seharusnya ia sudah menduga jawaban itu yang akan keluar dari mulut si malas Al. Bahkan dia dengar dari para guru, kadang meminta Al untuk ikut olimpiade membuat mereka terlihat seperti pengemis. Iya, Al ini memang sangat sulit ditangani. Dia punya bakat, tapi malas menyalurkannya. Ada-ada saja orang seperti dia. Pikir Pak Hendrik yang tak habis pikir dengan Al.

"Lihat tuh kembaran kamu! Udah kaya api yang berkobar-kobar kalau di lapangan. Dia tau dia punya bakat dan dia enggak sungkan untuk menyalurkan itu!"

Sekarang Al yang berdecih. Bahkan ia sempat memamerkan smirk di wajah tampannya. Membuat Pak Hendrik makin kesal.

"Bapak tau gak apa cita-cita El?"

"Udah jelas lah dia. Pasti mau jadi atlet."

Al terkekeh pelan. Tapi tak mengatakan apa-apa.

Different (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang