Mark mendongak mendengar kepakkan sayap dari elang yang terbang rendah. Matanya menyipit untuk melihat lebih jelas. Sedetik kemudian, ia mengalihkan perhatiannya dari elang itu dan melirik hasil jepretanku. "Coba kulihat hasilnya."

Kusodorkan foto itu dengan raut tidak puas. "Hasilnya buruk sekali."

"Bagus, kok." Mark berkomentar setelah mengamati hasil jepretanku yang payah itu. Ia pasti hanya ingin menghiburku saja. "Mana yang lainnya?"

"Hanya itu satu-satunya," jawabku. Aku meminta fotoku kembali dan langsung menyimpannya ke dalam kantong sweter supaya Mark tidak bisa memandanginya lebih lama lagi.

Mark berjengit heran. "Jadi dari tadi kita berkeliling dan kau hanya mendapatkan satu foto?"

"Aku tidak tahu apa yang harus kufoto. Padahal tempat ini indah." Kuedarkan pandanganku menyapu wilayah di sekelilingku. Tempat ini terlihat tenang. Mataku melebar melihat satu jamur parasol tumbuh di atas rerumputan yang dinaungi pohonbirch. Yang satu itu masih agak menguncup.

Mark menarik senyuman miring. "Sudahlah, ayo kita duduk." Ia menarik lembut lenganku dan mengajakku duduk di bawah pohon maple rimbun yang berada tidak jauh dari kami. Batangnya besar sekali dan akar-akarnya yang mencuat keluar dari tanah ditumbuhi lumut tipis.

"Kau mendapatkan banyak foto?" tanyaku setelah menyandarkan punggung ke batang pohon maple. Mark juga ikut bersandar.

"Lumayan." Mark menunduk memeriksa hasil jepretannya. Ia kemudian melirikku, memperhatikanku yang sedang memandanginya dengan sorot ingin tahu. Semilir angin menerbangkan helai-helai rambutku yang kubiarkan tergerai.

Tanpa diduga, Mark mengangkat kameranya dan membidikku. Suara jepretan halus terdengar sebelum aku sempat melakukan apa-apa. Ia lalu tersenyum simpul melihat hasil bidikannya.

"Apa yang kau lakukan?" Aku terkesiap. "Aku tidak suka difoto." Aku berusaha merebut kamera Mark namun sayangnya ia terlampau gesit. Tanganku hanya menangkap udara kosong. "Hapus saja, ekspresiku pasti buruk sekali!" tuntutku.

"Tidak akan," sahut Mark dengan nada menyebalkan. Seringai tipis melengkung di bibirnya.

"Tolonglah, Mark," rengekku pelan sambil memasang tampang memelas.
Aku menatapnya seperti seekor anak kucing yang sedang bersedih selama beberapa saat.

Mark menaikkan alis kirinya sambil tersenyum heran. "Kau sedang berusaha membujukku, Clavina Rose?" tebaknya seraya menundukkan dagu. "Sayangnya, tidak berhasil."

Mark mengamati fotoku lagi. Ia tampak kagum. "Kau mungil sekali. Suasana hutan membuatmu terlihat seperti peri."

Ucapan Mark benar-benar membuatku penasaran dengan hasil fotonya. "Paling tidak biarkan aku melihatnya."

"Nanti saja." Mark benar-benar sedang tidak bisa dibujuk. Ia menyandarkan kepala ke belakang, kedua tangannya bersidekap dengan kameranya berada di sisi tubuhnya yang berseberangan denganku, terlalu jauh untuk kujangkau. Mark masih memegangi benda itu dengan erat. Tidak memberiku celah.

Kucomot kamera polaroid dari pangkuanku lalu kujepret Mark yang sedang memandang jauh. Ia menoleh terkejut. Secara naluriah, ia langsung berusaha merebut kamera di tanganku.

Mark memang berhasil meraih kamera itu, namun aku sudah lebih dulu menarik hasil foto dan mengibas-ngibaskannya ke udara dengan gaya pamer.

Aku tersenyum melihat potret Mark dalam foto.
Langsung saja kumasukkan foto itu ke dalam kantong sweterku yang posisinya jauh dari Mark.

"Balas dendam?" Mark tersenyum miring. Ia seperti tengah berancang-ancang menyerang.
Tanpa sempat kuantisipasi, ia tiba-tiba menggelitik pinggangku. "Serahkan fotonya."

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now