"Baiklah." Mark mengulurkan kamera Polaroid itu kepadaku. "Itu kamera pertamaku."
Ia tersenyum.

Kupegangi kamera di tanganku dengan sangat berhati-hati. Mark pasti sangat menyayangi yang satu ini.

Mark mengambil kamera DSLR, melakukan pemeriksaan singkat, lalu langsung mengajakku keluar untuk menghampiri hutan di pekarangan samping. Cuaca memang agak cerah, namun udara terasa semakin dingin karena sudah memasuki bulan Oktober. Dedaunan juga semakin didominasi oleh warna kuning kemerahan yang tak hentinya mengeluarkan bunyi bergemeresak karena semilir angin berhembus nyaris tanpa jeda.

Kami melintasi jalan setapak yang agak menurun, Mark memegangi tanganku agar aku tidak tergelincir. Ketika kami tiba di wilayah yang agak melandai, pandanganku disambut oleh sesemakan blackberry. Sayangnya, buahnya sudah banyak yang membusuk. Namun, aku menemukan beberapa butir yang masih bisa dimakan.

Ada dua buah jamur parasol berukuran besar tumbuh di antara semak blackberry, terlihat seperti payung-payung gemuk di atas tanah lembab berwarna gelap. Mark langsung memotret jamur-jamur itu dan menunduk melihat hasilnya.

"Apakah jamur-jamur ini beracun?" tanyaku penasaran, aku hanya pernah mendengar nama jamur ini tapi tidak yakin apakah boleh dikonsumsi. Aku menunduk untuk melihat lebih dekat. Bagian atasnya yang mirip payung setengah terbuka berwarna krem agak bersisik dengan titik-titik yang berwarna sedikit lebih gelap.

"Tidak. Jamur parasol lazat sekali jika digoreng tepung." Jelas Mark, memasang wajah kepingin. "Tapi kudengar jamur ini tidak baik dikonsumsi selama masa kehamilan karena dapat mempengaruhi perkembangan janin."

Aku kembali memandangi jamur-jamur parasol yang kini terlihat dua kali lebih menarik bagiku. "Yeah, kurasa tidak ada satu pun dari kita yang sedang hamil, jadi nanti sore kita buat cemilan parasol goreng saja."

Mark seketika tergelak mendengar selorohanku. "Clavina, kau selalu terlihat serius, tapi sekalinya kau melucu, kau benar-benar mengejutkanku."

Aku hanya memasang senyum antara ada dan tiada.

"Oke, nanti kita petik beberapa untuk digoreng," sambung Mark. "Aku yakin kita bisa menemukan lebih banyak lagi di bagian dalam hutan."

Kami memutuskan untuk melupakan jamur-jamur parasol sejenak dan lanjut memotret. Menit-menit berlalu, aku merasa konyol karena belum mendapat satu foto pun. Kulangkahkan kakiku secara asal untuk mencari sesuatu yang menarik. Aku melengos, hanya ada pepohonan dan tanaman liar di segala penjuru, aku berharap bisa menemukan burung warna-warni atau hal keren lainnya yang bisa kupotret selagi aku menapakkan kaki melintasi hutan.

"Jangan pergi terlalu jauh, Clavina," seru Mark yang kini berada beberapa meter di belakangku.

"Baiklah," sahutku mengiyakan.

Kepalaku mendongak mendengar bunyi elang yang terbang berputar-putar di atas kanopi pepohonan. Aku langsung berlari untuk mencari tempat yang lebih terbuka supaya bisa leluasa membidik elang yang sedang menggemakan bunyi berkelik-kelik itu. Aku berhenti di daerah yang pepohonannya agak jarang dan bergegas memanjat batang sisa pohon tua yang sudah mati.

Kutengadahkan kepalaku sambil membidik elang yang masih terbang berputar-putar di bawah bentangan langit biru berawan. Bisa jadi itu Ares.

Kutekan kuat-kuat tombol shutter. Selanjutnya, aku menarik keluar cetakan kertas Polaroid dan mengibaskannya di udara, menunggu imaji terlihat. Aku langsung memasang tampang kecewa melihat hasil jepretanku yang buram.

"Bukankah sudah kubilang jangan pergi terlalu jauh?" Mark menyusulku dengan raut agak jengkel.

Aku berjongkok dan turun pelan-pelan dari batang kayu licin, lalu menyingkirkan kotoran yang menempel pada sweterku. "Maaf. Aku hanya berusaha mendapatkan foto yang bagus."

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now