Prolog

442 11 0
                                        

20 November.......
---------

Tiiiin... tiiiinn

Terdengar bunyi dari sebuah klakson mobil dengan rem yang blong, melesat kencang ke arah depan menuju seorang anak laki-laki.

Tiin... tiiin

"Aawwwaaaaaass!!!"
Teriak seorang wanita  yang hendak mendorong anak laki-laki itu ke tepi zebra cross

Brrakk...

Wanita yang tidak sempat melarikan diri dari tempat itu kemudian tertabrak hingga terpental beberapa meter. Segumpal darah perlahan-lahan mengalir di jalanan aspal. Anak laki-laki yang melihat kejadian tepat di mata kepalanya sendiri sontak berteriak menangis, meminta bantuan.

"Toolongg!!! Tolong!! Hiiks!! Tolong!! Hiks"

Seketika semua akses jalan mendadak berhenti. Teriakan dan isak tangis sang anak yang tadi hampir tidak terdengar, sekarang telah memenuhi jalanan yang ramai.

"Tuan ardhi!!" Tampak seorang pria muda mendekat

"Kak Danu B-bawa Dia k-ke rumah sakit, SKARANG!!"
perintah anak itu, yang di ketahui bernama Ardhi.

Tak lama setelah itu, mobil ambulans kemudian datang dan mengangkut wanita yang sedang berbaring tak berdaya dari situ.

Sesampainya di rumah sakit. Ardhi kecil termenung, matanya hanya menatap ruang operasi, tangannya menggaruk kasar kepalanya, kini pikirannya telah di penuhi oleh rasa bersalah terhadap Wanita yang menolongnya tadi.

"Mamaa!!" Teriak seorang Anak perempuan

Suara yang nyaring itu seakan memenuhi kepala Ardhi, rasa bersalahnya akan Wanita tadi mendadak meningkat, hatinya bagaikan di hujani tombak ketika mendengar suara itu.

"Pah Mama gak kenapa-kenapa kan?" Lirih Anak perempuan itu

"Iyah gak akan terjadi apa-apa sama Mama kita berdoa aja ya" kata pria itu sambil memeluk Anaknya dengan maksud menenangkannya, Ia tahu putri kecilnya juga berusaha menahan rasa sakit yang teramat dalam.

"Liya tunggu di sini dulu yah, papah pengen bicara dengan dokter OK, jangan kemana-mana dulu" ucapnya sambil mengusap surai putrinya sambil menatap dengan penuh harapan agar putrinya tidak meninggalkan tempatnya.

Anak perempuan itu  kemudian mengusap air matanya dan mengangguk pelan, tanda setuju. Setelah yakin bahwa putrinya akan baik-baik saja pria itu berlalu pergi ke tempat yang Ia tuju.

Ardhi tidak tahan lagi, lantas kaki kecilnya melangkah ke arah anak perempuan yang sedang menunggu di bangku rumah sakit. Setelah berhadapan dengan anak itu Ia kemudian berlutut sambil menggenggam tangan Liya dan dengan tulus mengatakan permintaan maaf.

"Maaf... maaf.... maaf... maaf" kata itu terus menerus keluar dari bibirnya tanpa henti.

Liya yang sejak tadi heran dengan perilaku Anak laki-laki di hadapannya Ini, lantas tidak tau mengapa tetapi, kata-kata yang singkat itu mampu menusuk di hatinya sehingga air matanya perlahan jatuh lagi.

Setetes air mata Anak itu kemudian jatuh ke tangan Ardhi, membuatnya tersadar lalu mendongakan kepalanya ke atas sambil mengusap pelan air mata Liya.

Ardhi yang senantiasa di didik keras oleh orang tuanya perlahan menjadi pribadi yang dewasa bahkan di umur 8 tahun, tak heran jika Ia dapat memahami perasaan orang lain.

"Hei! Jangan nangis lagi dong, aku janji bakal melindungi kamu setiaaaaapp saat" Kata Ardhi, berusaha menenangkan Anak perempuan itu.

"Janji?"

Mendengar perkataan itu, ia yakin bahwa saat Ini Anak perempuan itu menjadi sedikit lebih tenang, Ardhi lantas mengangkat jari kelingkingnya sembari mengaitkannya ke jari kelingking Liya.

"Iya janji"

"Cih gagal lagi, tapi.... ternyata kali ini gue hoki"






ARDHIAN Where stories live. Discover now