"Iya, Bu. Jadi pr aja." Teman sekelas yang lain ikut menyetujui usulan ketua kelas.

"Nggak ada, kalau mau pr Ibu tambah 20 soal lagi."

"Ya ... ibu sungguh kejam," balas Auri membuat Bu Melati melotot kepadanya.

"Oke gini aja, siapa yang bisa mengerjakan ini." Bu Melati menunjuk 10 soal fisika di papan tulis. "Kalian semua boleh pulang."

Aku berdiri membuat kursi yang ku duduki bergerak ke belakang menciptakan suara gesekan. Semua mata kini tertuju padaku.

"Yakin sih kalau udah Allana yang ngerjain."

"Buruan, Al. Kami bergantung padamu."

"Ayo sayang kamu bisa!"

Aku anggap semua ucapan mereka semua adalah penyemangat untukku. Aku maju ke depan meraih spidol mulai menulis rumus-rumus fisika yang aku ketahui. Hampir 10 menit aku berkutat dengan 10 soal hingga berhasil mengerjakan semuanya.

"Sudah, Bu." Aku menilik Bu Melati.

"Bagus Allana, seperti biasa kamu memang cerdas. Pertahankan." Bu Melati memegang lembut bahuku. "Baiklah, kalian semua boleh pulang," lanjut Bu Melati membuat heboh seisi kelas.

"YEAAHH."

"MAKASIH AL."

"UDAH KAYA, CANTIK, PINTER LAGI, SEMUA DIBORONG."

"KIW AL, JADI PACAR GUE YUK."

Aku hanya mengulas senyum mendengar pujian mereka. Aku sudah sering mendengar pujian serupa, jadi rasanya biasa saja.

"Makasih, Bu. Kalau gitu saya pulang dulu," pamitku kepada Bu Melati.

Di parkiran aku bersama Auri serta Kaila naik ke atas motor masing-masing. Ku dengar Auri sedang berbicara di telpon. "Al, gue duluan ya. Nyokap gue mau keluar kota. Minta dianteri ke bandara." Auri bersiap memakai helm. "Oh iya, Kai. Lo temenin gue ya."

"Iya," sahut Kaila malas.

"Ya udah, kalian berdua hati-hati," kataku.

"Pasti." Auri mengacungkan jempolnya padaku.

Aku menatap motor Auri dan Kaila keluar dari gerbang sekolah. Setelah memakai helm, aku pun menancap gas melajukan kendaraan roda dua milikku di atas aspal panas.

Hari ini cuaca cukup terik membuatku ingin cepat sampai ke tujuan. Aku berhenti sejenak di sebuah caffe membeli sepotong cake serta minuman kesukaan Papa, aku berencana singgah ke kantor Papa sebelum pulang ke rumah.

Motorku memasuki area gedung mewah dan menjulang tinggi, ini adalah perusahaan Papaku.

"Maaf, Nona. Tuan Maverick sedang meeting dengan client. Nona bisa menunggu dulu." Aku sudah kenal wanita berambut panjang di hadapanku, ia adalah asisten Papa.

Aku mengangguk lalu ia mempersilakan aku untuk duduk sebelum pergi meneruskan pekerjaannya. Hampir satu jam aku duduk sendirian disofa.

"Nona, anda sudah bisa memasuki ruangan."

Lamunan ku menadadak buyar ketika asiaten Papa menghampiriku. "Mari, Nona. Saya antar."

Aku bangkit dari sofa, berjalan di sebelahnya. "Terima kasih sudah mengantarku."

"Sama-sama, Nona." Ia menunduk sekilas sebagai rasa hormat. Kemudian meninggalkanku di depan ruangan Papa.

Aku mendorong pintu ruangan kerja Papa. Papa terlihat sibuk hingga tak menyadari kedatanganku. "Papa!"

Ia menatapku sekilas. "Ada apa kamu ke sini?"

"Papa sibuk ya? Aku ganggu? Aku tadi beli cake sama minuman kesukaan Papa."

"Hm, letakkan di sana." Papa menunjuk ke arah meja tanpa menoleh padaku.

Satu menit, dua menit, lima menit. Aku tak berajak sedikit pun. "Sudah kan ngasih cake-nya? Kenapa masih di sini?" Papa menatapku heran. "Pergi sana, Papa sibuk."

Aku mendekati Papa. "Pa, Aku boleh peluk Papa?"

"Papa sibuk jangan ganggu Papa," ketusnya.

Kuamati wajah Papa yang terlihat gusar sambil membalik berkas ditangannya. "Yaudah, kalau gitu nanti kita makan malam berdua ya, Pa."

"Liat nanti."

Aku mendengus sebal. "Kenapa sih Papa lebih mentingin pekerjaan dari pada aku? Dulu aja waktu Mama masih ada Papa selalu nurutin kemauan aku. Papa beneran nggak sayang lagi sama aku?" Nada bicara ku meninggi.

"CUKUP ALLANA!" bentak Papa membuatku terperanjak kaget.

"Papa lagi pusing, perusahaan sedang dalam masalah. Apa kamu mau kita jatuh miskin hah! Sekarang kamu pergi, jangan ganggu Papa." Papa menunjuk pintu keluar.

Mataku berkaca-kaca. "Percuma hidup kaya kalau Papa nggak pernah ada waktu lagi buat aku." Aku menangis.

"Terserah, Papa nggak peduli. Lagian kamu bisanya cuma nyusahin Papa."

Air mataku semakin mengucur deras mendengar perkataan terakhir Papa. Aku berbalik lalu pergi dari ruangannya. Tak peduli beberapa bawahan Papa menilikku kasihan.

Helmku terjatuh dari atas motor, tak acuh akan hal itu aku membawa motor kencang pergi dari perusahaan Papa. Rambutku berterbangan tertiup angin pun mataku masih mengeluarkan cairan bening.

Karena pandangan ku buram dikarenakan terhalang air mata, tak menyadari jika ada seorang gadis yang hendak menyeberangi jalan. Aku tak sempat mengerem sehingga menabrak gadis itu.

A or A [New Version]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें