16. The Fireplace

Start from the beginning
                                    

 
Hari yang muram.

Kuselami pikiranku sendiri untuk menemukan hal yang akan menjadi pertanyaanku berikunya. "Apa ketakutan terbesarmu?"

Mark tidak langsung menjawab. Ia tampak berpikir. Cahaya api menari-nari di wajahnya, memperjelas garis rahang yang menghadap perapian dan sepanjang tulang hidungnya yang tinggi. 

Kuraih tehku dan menyesapnya perlahan, memberi Mark waktu.
Setelah mengembalikan cangkirku ke meja, aku duduk menyamping sambil merebahkan kepala pada sandaran sofa. Kedua lenganku menyilang di depan dada supaya merasa lebih hangat lagi.

"Entahlah. Aku sudah melewati hal-hal yang dahulu selalu menjadi ketakutanku; kehancuran, kehilangan arah dan harapan, serta kesendirian yang panjang." Pandangan Mark seperti menerawang. "Jika membicarakan perihal ketakutan terbesar, maka kini jawabannya bukan tentang diriku lagi. Kini, yang paling kutakutkan adalah melihat orang yang berarti bagiku terluka sedangkan aku tidak dapat berbuat apa-apa."

Jawaban Mark membuatku terdiam lama. Aku selalu melihat Mark sebagai laki-laki misterius yang tangguh. Mendengarnya menceritakan ketakutannya membuat sosok di hadapanku ini menjadi lebih manusiawi. Ia juga punya sisi rapuh.

Mark juga punya ketakutan dalam hidupnya. Seperti semua orang.

Namun, kali pertama aku melihat sisi rapuh Mark adalah saat ia memergokiku sedang berencana mengakhiri hidup di perpustakaan.

Ia menunjukkan sisi lain dirinya;


Ketakutan terpendamnya.


Luka dari masa lalunya.


"Clavina..." Mark menyebut namaku dengan caranya yang khas; perlahan dan dengan suara dalam.

Aku menatap Mark setelah suaranya menarikku keluar dari lamunan.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" Mark menatapku lekat-lekat.

Aku mengangguk. Kepalaku masih bersandar pada punggung sofa. Cuaca membuatku larut dalam suasana.

Tatapan Mark perlahan tenggelam dalam arus kecemasan. "Apakah terkadang kau masih merasakan sakit?"

Aku terdiam, tidak menyangka Mark akan menanyakan itu. Perasaan gusar merembes masuk ke tubuhku seperti hujan angin menerpa dinding kayu lapuk. Aku harus jujur.

"Terkadang." Aku mengaku. Mataku kini menatap kedua lutuku sendiri.

Jawabanku langsung merubah raut wajah Mark. Seember kecemasan tambahan seperti disiramkan di atas kepalanya.

"Terakhir kali aku merasakan sakit adalah saat insiden di hutan. Rusukku terasa nyeri saat aku jatuh dan berlari terlalu kencang." Aku berbicara dengan sangat berhati-hati. "Dan setelahnya. Saat aku memutuskan untuk tidak turun untuk sarapan."

Punggung Mark menegang. "Clavina, mengapa kau tidak memberitahuku waktu itu?"

Rusukku adalah bagian yang mengalami cidera paling parah. Jadi, hingga sekarang pun aku masih harus sangat berhati-hati pasca operasi. "Karena itu semua terjadi akibat ulahku sendiri. Lagipula, rasa nyerinya sudah tidak terlalu intens setelah aku mandi."

Mark termenung. Seperti ada yang tengah mengusik pikirannya. "Kau tetap harus memberitahuku. Seringan apa pun rasa sakitmu."

Aku hanya mengangguk pelan.

"Bagaimana dengan belakangan ini?" Mark melanjutkan. "Apakah masih ada bagian-bagian yang terasa sakit?" Nada suara Mark terdengar khawatir sekali. Ia ingin memastikan segalanya.

Aku menggeleng. "Tidak. Aku merasa baik-baik saja."

"Kau yakin?"

Aku mengangguk.

"Tolong ingatkan aku jika ternyata aku menyentuhmu terlalu kasar sehingga dapat membahayakan proses pemulihan fisikmu." Mark berbicara dengan nada serius sekali. Wajahnya menunduk memandangiku.

Aku melemparkan tatapan protes. "Mark, aku bukan setangkai bunga kering yang dapat remuk oleh sentuhan-sentuhan kecil. Bahkan oleh tiupan angin. Tubuhku memang sangat kecil dan sedang dalam masa pemulihan akibat cidera-cideraku. Tapi aku tidak serapuh itu." Aku menggerutu. "Lagi pula, kau sama sekali tidak pernah bertindak kasar. Sama sekali tidak."

Mark tidak berusaha mendebat. Ia hanya mendengarkan.

"Baik." Mark menerima gagasanku. "Tapi kau tetap harus mengingatkanku jika aku bersikap tidak benar. Aku masih perlu banyak belajar dalam pernikahan ini."

Aku tercenung. "Kalau begitu, kau juga harus demikian. Aku juga sama sepertimu."

Mark tersenyum lembut.

Tiba-tiba, aku digelayuti resah yang nyalang. "Tapi, Mark..."

"Apa?" Mark ingin aku melanjutkan.

"Mari pikirkan skenario terburuk. Bagaimana jika ini tidak berhasil? Pernikahan kita. Bagaimana jika aku terlalu sulit untukmu?"

Yang mengejutkanku adalah; Mark seperti sama sekali tidak terusik dengan gagasanku itu. "Aku tidak akan menyerah sesulit apa pun dirimu. Pernikahan ini akan berhasil. Aku akan melakukan segalanya untuk itu."

Aku menatap Mark sembari termenung, tidak tahu harus mengatakan apa.

"Untuk sekarang, aku hanya meminta satu hal, Clavina." Kedua manik biru Mark menatapku lekat. "Tetaplah bersamaku."


[Bersambung]



In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now