Aku mundur menjauhi rak buku. Tidak ada gunanya mencari-cari sesuatu untuk membuatku merasa lebih baik saat ini.

Karena tidak akan ada lagi.

Aku tidak akan merasa lebih baik lagi.

Kuhampiri meja di dekat jendela yang agak berantakan. Permukaannya disesaki dua buku yang tepian sampulnya agak kusut, beberapa kertas kosong, serta kotak kayu kecil mirip tempat penyimpanan alat tulis.

Aku duduk di kursi yang menghadap meja itu. Kutangkupkan wajahku ke dalam telapak tangan dengan kedua siku bertumpu di atas permukaan meja. Arus keputusasaan mengaliri tengkuk dan setiap jengkal tulang belakangku, memecuti setiap syaraf yang berada di sana dan berupaya merenggut jejak-jejak kewarasan terakhir yang tersisa.

Kedua mataku memanas oleh cairan air mata yang mendesak keluar. Aku lelah. Sangat lelah.

Kutelusupkan jemariku ke sela-sela rambutku dengan frustrasi. Wajahku masih tertunduk dalam dengan mata terpejam. Air mataku sudah membobol pertahananku.

Aku baru mengangkat wajah setelah merasakan nyeri di pelipisku akibat terlalu lama menangkupkan wajah sambil menangis. Kuusap mataku yang buram. Wujud kotak berisi alat tulis dan macam-macam benda lainnya langsung menyapa penglihatanku setelah aku mengerjap.

Mataku memandangi pulpen, pensil, penggaris kecil, highlighter, spidol, selotip, gunting kecil, penjepit kertas, dan silet di dalam kotak.

Silet.

Benda itu masih terbungkus di dalam wadah kertas tipisnya.

Seluruh tubuhku tiba-tiba terasa panas. Jantungku berdentum-dentum liar hingga sampai ke telingaku. Aliran darah di bawah kulitku berdesir-desir ganjil.

Semua akan lebih baik jika aku tidak ada.

Aku meraih silet itu, mengeluarkannya dari bungkusan kertas, dan menatap kosong permukannya yang berkilat-kilat di bawah cahaya lampu perpustakaan.

Kuangkat lengan kiriku dan menatap lurus urat nadiku yang berwarna kebiruan. Jantungku semakin kencang berdentum di telingaku, menimbulkan rasa mual teramat. Tubuhku terasa panas dan gemetaran, namun telapak kakiku sedingin es.

Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Tanganku gemetaran mengarahkan tepian tajam silet ke atas pembuluh darahku yang seolah sedang menatapku bisu. Meminta ampun.

"Sudah menemukan buku yang bagus?"

Suara Mark menyentakku hebat. Silet yang berkilat-kilat meluncur jatuh dari tanganku. Dengan refleks, aku menoleh melihat Mark yang tiba-tiba sudah melangkah masuk ke perpustakaan.

Mark menghentikan langkahnya saat melihat reaksiku terhadap kedatangannya. Dahinya berkerut bingung, terlebih setelah melihat wajahku basah oleh air mata. "Ada apa?"

Aku tidak menjawab. Aku bangkit dari kursi untuk memungut silet yang jatuh di bawah meja. Tanganku gemetaran hebat. Kehadiran Mark yang mendadak sangat mengguncangku.

"Kau sedang apa, Clavina?" tanya Mark lagi. Ia berjalan mendekat, rautnya terlihat cemas sekaligus ingin tahu.

Aku menyembunyikan silet itu ke belakang punggungku dan berpindah ke area kosong di tengah ruangan. "Tidak ada."

Mark menyipitkan matanya curiga. Sedetik kemudian, tatapannya menggelap. "Clavina, apa itu tadi sebuah silet?"

Peganganku terhadap silet di belakangku semakin mengerat. "Mark, aku sedang ingin sendirian." Aku mengutuk suaraku yang bergetar.

Ada perubahan yang sangat kentara dalam mata Mark. Sorot ketakutan mengental di sana, bercampur dengan kesedihan yang teramat. Aku seperti baru menyerangnya tepat di titik terlemah, seolah baru saja membangkitkan kenangan gelap yang selama ini dipendamnya dalam-dalam.

Mark melangkah dengan sangat berhati-hati ke arahku. "Clavina... kumohon jangan."

Mark tahu apa yang sedang kupikirkan. Ia tahu apa yang sedang kurencanakan dengan silet di tanganku.

Aku mengambil langkah mundur. Napasku terasa sesak karena percikan adrenalin.

"Jatuhkan benda itu." Suara Mark berubah menjadi seperti desisan berbahaya karena mengetahui aku tidak berniat menyerah. Ia terus melangkah maju, semakin membuatku merasa terdesak.

Mark terus mempersempit jarak di antara kami. Sorot matanya begitu gelap.

Gelombang kepanikan datang menerjang saat punggungku menyentuh dinding di belakangku. Aku tidak bisa bergerak lagi. Menyadari aku sudah terdesak, aku langsung bergegas mengangkat silet di belakangku dan mengarahkannya ke pergelangan tangan.

Namun ternyata Mark bergerak lebih cepat. Ia menerkamku dan mencengkeram kedua pergelangan tanganku sehingga aku tidak bisa berkutik lagi.

"Jatuhkan benda sialan itu, Clavina." Mark menggeram. Wajahnya begitu dekat denganku, membuatku semakin gusar.

Aku meronta berusaha melepaskan diri dan menolak untuk menjatuhkan silet itu. Namun cengkeraman Mark begitu kuat, aku juga tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi karena tubuku terpojok ke dinding.

"Mark, lepaskan aku!" Aku memberontak dengan cara memutar lenganku, menariknya
kuat-kuat, sesekali berusaha mendorong Mark, namun semua upayaku itu sia-sia. Aku kalah tenaga.

"Berhenti melawan, Clavina. Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri." Mark menunduk menatapku tajam. Kemeja hitamnya kusut. Aku merasakan napas hangatnya di wajahku. "Jatuhkan. Silet. Itu."

Mark memberikan penekanan berbahaya pada setiap kata. Tanda ia tidak sedang bermain-main. Rahangnya menegang. Tatapannya mengunciku.

Tapi aku tidak menyerah. Aku terus meronta. Kedua lengan kurusku terasa nyeri luar biasa di dalam cengkeraman tangan kokoh Mark. Air mataku mengalir menyadari aku tidak akan dapat melawannya.

"JATUHKAN!"

Teriakan Mark seperti memecah udara ruang perpustakaan. Keheningan malam semakin membuat suara beratnya itu terdengar menggelegar.

Aku membeku sambil menatap Mark nanar. Kedua tanganku masih berada di dalam cengkeramannya. Tanpa kusadari, peganganku terhadap silet mengendur. Benda itu jatuh ke lantai kayu dengan bunyi khas. Kedua kaki yang menopangku tiba-tiba terasa lemas dan tubuhku perlahan merosot ke lantai.

Namun sebelum aku terjatuh, Mark dengan sigap menangkap tubuhku dan kami sama-sama duduk di lantai kayu perpustakaan. Tanpa diduga, ia langsung menarikku ke dalam pelukannya.

"Maafkan aku, Clavina." Suara Mark terdengar berbisik. Aku merasakan tubuhnya juga bergetar.

Tangisku pecah dalam dekapan Mark. Seluruh perasaanku menembus keluar dari dalam diriku seperti sebuah ledakan. Aku tidak menahan apa pun lagi. Aku meluapkan segala yang pernah kupendam selama ini.

Aku terisak hebat karena pertahananku sudah sepenuhnya runtuh. Bahuku bergetar. Aku membiarkan Mark melihat diriku dalam keadaan seremuk-remuknya.

Mark mengeratkan pelukannya. Dagunya bertopang lembut di atas puncak kepalaku untuk merasakan seluruh denyut kesedihan yang kupunya. Aku merasa mungil sekali di dalam dekapan lengan-lengan kokohnya yang hangat.

Untuk pertama kalinya, Mark membuatku merasakan sesuatu yang berbeda.

Aku merasa aman.

Aku seperti jatuh ke jurang sebuah kebenaran yang janggal. Berada dalam dekapan Mark saat ini seperti menemukan rumah yang telah lama hilang. Selama bertahun-tahun, sejak ibuku jatuh sakit, aku merasa begitu sendirian di dunia yang dingin dan kejam. Aku tidak memiliki sandaran ketika sedang begitu rapuh.
Dan Mark... entah bagaimana tiba-tiba ia seperti menjadi segala hal yang selama ini kucari-cari. Padahal selama ini, ia adalah kebalikan dari semua itu.

Satu buah pelukan, dan duniaku seolah terjungkir balik.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa begitu dilindungi. Bahkan dari diriku sendiri.

Detik-detik berlalu. Aku terus tenggelam dalam tangisku.

Mark masih memelukku. Ia hanya diam, membiarkan keheningan mengambil alih.



[Bersambung]

In A Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang