Namun aku tidak memperdulikan tatapan mereka. Risih berdesak-desakan aku pun mendekat ke bar untuk memesan minuman beralkohol. Duduk di sana, memperhatikan pelayan bar menuangkan cocktail pada gelas. Kemudian ia tersenyum mendorong gelas ke arahku, menyuruh ku minum.

Aku tersenyum tipis meraih gelasku, menggoyangnya sebentar, menghirup aromanya yang selalu ku suka. Kemudian meminumnya dalam sekali teguk. Toleransi ku terhadap alkohol cukup tinggi jadi tidak gampang mabuk.

Merasa ada mata yang sedang memperhatikanku, membuat aku menoleh ke samping. Di sana ada cowok tampan duduk menghadap ke arahku, tatapan kami saling mengait beberapa saat hingga aku memutuskannya lebih dulu.

Dari ekor mataku terlihat cowok itu menghampiriku.

"Hi, pretty," sapanya.

"Hi, ganteng." Raut wajahnya terkejut karena aku menggunakan bahasa indonesia.

"Lo orang indonesia ternyata?" Ia terkekeh.

"Lo pikir gue orang sini?"

"Gue pikir lo orang ... Germany? Yang sedang bersenang-senang juga di club ini."

Kakekku memang asli Germany. Kemudian Papa datang ke indonesia bertemu Mama lalu menikah dan lahir lah putri mereka yaitu aku. Jadi tak heran jika cowok ini beranggapan begitu karena wajahku blasteran.

"By the way, lo menarik perhatian gue, penampilan lo .... " Ia menilik penampilanku dari bawah sampai atas menilai seolah aku adalah barang yang hendak ia beli. "Aneh," lanjutnya.

"Gue nyaman pakai kayak gini," jawabku tak acuh.

"Mau staycation?"

"You're crazy!" pekikku. Yang benar saja, kami baru bertemu dan dia mengajak staycation.

"Lo cantik, gue kayaknya tertarik sama lo."

"Tapi sayangnya gue nggak tertarik sama lo." Dasar cowok aneh, mana mungkin sekali lihat ia langsung tertarik kepadaku. Sangat tidak masuk.

"Penolakan lo membuat gue semakin tertarik sama lo."

"Freak," sindirku mengangkat bokong dari kursi hendak pergi. Namun cowok ini menahan serta menarikku.

Ia membawaku ke sudut ruangan dengan pencahayaan remang serta sedikit manusia. Menyudutkan tubuhku ke dinding lalu mengurungku dengan kedua tangannya. "Lo jangan macam-macam, gue bisa beladiri!"

"Berapa umur lo?"

"17."

"Udah legal kalau mau ciuman." Ia menarik daguku sehingga mata kami bertemu, dapat ku lihat iris gelapnya mempesona. Aku terbungkam menikmati manik indah yang ia miliki seolah menyuruhku tenggelam di dalamnya.

"Boleh gue cium?" Secara sensual ibu jarinya mengusap bibir bawahku.

Entah kenapa tubuh ku menyetujui apa yang ia katakan. Tanganku mengalung pada lehernya. Kami berciuman, menempel lama-lama berubah menjadi lumatan kecil.

Sebelum ciuman kami semakin liar aku segera mendorong dadanya pelan, napasku terengah-engah. Tak ku sangka ia seorang good kisser.

"Manis," bisiknya ditelingaku berlanjut mengendus leher jenjangku.

Rasa panas merambat ke pipiku, aku bersumpah baru kali ini aku terlihat lemah terhadap rayuan seorang cowok. Ku dorong kuat dada bidangnya lalu berlari keluar dari klab.

"Shit! Bisa-bisanya gue terbawa suasana sama ciumannya." Aku mengutuk diriku sendiri.

Tapi sungguh, ciumannya memang enak.

Aku mengelengkan kepala, mengenyah pikiran tentang dia yang tak ku ketahui namanya. Suara bariton menarik atensi, aku menoleh.

"Maaf, Nona. Anda belum membayar minuman Anda."

Damn, begitu malunya aku. Semua salah cowok tadi. Segera aku mengeluarkan credit card kepada pelayan bar. Ia menerimanya, menyuruhku menunggu sebelum ia masuk ke dalam klab.

Tak lama pelayan bar itu kembali menghampiriku. "Ini Nona kartu Anda, ternyata minuman Anda sudah dibayar."

Gerakanku kaku mengambil kembali kartu dari tangan pelayan bar. "Okay, Thank you."

Sejujurnya aku penasaran siapa yang membayar minumanku, apa cowok yang berciuman denganku tadi? Sudahlah, itu tidak penting, lebih baik aku kembali ke apartemen.

A or A [New Version]Where stories live. Discover now