Bab 24 (Bersyukur yuk!)

5.3K 459 42
                                    


Bismillah Semoga Banyak yang suka hehe

Hai Kamu!

Iya Kamu!

Yang lagi baca cerita ini,

Jangan lupa bahagia

Jangan lupa bersyukur

Mari menikmati hidup bersamaku!

  

 ***

Aku tertidur dalam dekapan hangat Bunda. Sepulang Ummi Aminah semalam, aku langsung menemui Bunda, memeluknya erat dan meminta maaf atas kesalahanku yang telah mendiaminya selama beberapa hari terakhir.

"Bunda, maafin Kismi ya Bund, Kismi telah dibutakan emosi sampai lupa akan kebaikan Bunda yang menggunung, yang bahkan jika Kismi balas dengan suatu apapun belum bisa menyamaianya!" kataku semalam, sambil menangis tersedu di pangkuannya.

Masih tergambar jelas di benakku bagaimana cara Bunda menghapus air matanya yang terjatuh.

"Bunda yang seharusnya meminta maaf, Nak!" Aku menggeleng keras, isyarat mengatakan bahwa tak seharusnya orang tua meminta maaf kepada anaknya.

"Bund, temani Kismi untuk mencoba menerima semuanya ya,"

"Itu sudah pasti Nak, tanpa perlu kau Minta!"

Jam di dinding masih menunjukkan pukul 02.15 dini hari. Gerimis masih mengguyur bumi sedari tadi malam. Dinginnya menusuk-nusuk tulang. Sekuat tenaga, ku singkap selimut tebal yang mnutupi tubuhku, kurapatkan di tubuh Bunda. Nafasnya yang teratur ketika tidur menggambarkan ke legaan di dalamnya, aku tau itu.

Kuseret perlahan kakiku ke kamar mandi, mengambil wudhu lalu menumpahkan segalanya kepada Sang Pemberi Kehidupan. Berharap malaikat membantu mengamini setiap doa yang kulontarkan dan harapan-harapan baru yang mulai kurangkai ulang.

"Ingat Kis, tak ada takdir yang tak indah!"

Selepas Membaca surat Alkahfi, aku teringat akan buku bacaan pemberian ibu Nyai Shobibah kala mengikuti pesantren kilat beberapa waktu lalu. Entah mengapa, tiba-tiba hatiku tergugah untuk membacanya, buku bersampul ungu berjudul 'Wanita Sholihah Perhiasan Dunia'. Seraya menunggu adzan Shubuh yang masih lama berkumandangnya.

Kuhembuskan napas perlahan. Udara segar yang menyeruak dari sela-sela jendela cukup menyegarkan rongga dada yang sesak. Kulirik langit sepertiga malam yang tak berbintang. Masih gelap tentunya. 

"Alhamdhulillah ya masih bisa bernapas!" lirihku. Bersyukur adalah hal penting yang kerap kali dilupakan manusia. Keinginan yang banyak, harapan dan tolak ukur kebahagian yang tinggi, membuat manusia berlomba-lomba mengejar apa yang dimau sampai-sampai lupa bersyukur akan segala hal yang dipunya. Bercerminnya pada orang yang diatas tanpa melirik pada yang dibawah. Jika terus begitu, maka selamanya tak akan pernah puas dan cukup. 

Aku ingat, dulu waktu kecil Bunda selalu mengajariku untuk selalu mengucap hamdalah dan bersyukur atas segala keadaan. Kata Bunda, dengan bersyukur Allah akan menambah kenikmatan. Pun sebaliknya, jika kita enggan bersyukur dan terus merasa kurang, maka kenikmatan yang sejatinya telah didapat akan menghilang perlahan. Rasa bahagiapun sulit didapat.

Sebagaimana ungkapan yang seringkali kudengar "Kebahagiaan tidak akan pernah sampai kepada mereka yang gagal menghargai apa yang sudah mereka miliki!" Bersyukur itu mudah, sadarnya saja yang susah. Iya, bukan? 

Kuletakkan buku pemberian Ibu Nyai Shobibah di atas nakas. Masih terbaca 2 bab saja. Aku berniat membawanya ke sekolah dan membaca bersama dengan Nadia si sela-sela jam istirahat nanti. Sejak dahulu, aku dan Nadia memang suka bertukar dan menikmati buku bacaan bersama. 

Pintu kamarku terbuka perlahan, menampilkan Bunda yang juga tengah memakai mukenah.

"Udah bangun kok nggak bangunin bunda?" Bunda mendekatiku, ikut berdiri di dekat jendela.

"Tadi Bunda tidurnya lelap banget, Kismi nggak tega yang mau bangunin. Yaudah Kismi tinggal deh hehe!" Bunda tersenyum manis seraya membelai rambutku yang tertutup.

"Kismi tidurnya nyenyak?"

"Ya nyenyak banget Bund, kan dipeluk!"

"Bunda lega banget melihat kamu kembali seperti semula Kis, berjanjilah untuk tidak pernah muram lagi ya? Kalau kamu muram dan sedih, Bunda adalah orang yang paling menderita akan itu!" Aku mengangguk. Berjanji dalam hati sebisaku.

Bunda memelukku, "Kamu tau apa salah satu rasa syukur terbesar Bunda selama ini? Jawabannya adalah kehadiran kamu Kis, rasanya bersyukur saja tidak akan cukup!" lirih bunda. Tentu saja membuat hatiku kalut.

"Bunda, Kismi juga gitu kok. Bersyukur banget Allah telah mengirim Bunda di hidup Kismi. Meskipun_"

Bunda melepas pelukannya, "Tidak ada kata meskipun diantara kita. Kismi anak Bunda. Titik!" Aku mengangguk. Ikatan sambung antara aku dan bunda memang telah musnah sejak sedia kala. Bunda tidak menyukai jika kenyataan itu diungkit-ungkit oleh sipapapun.

"Bund, Kismi mau tanya. Jadi istri itu berat ya?" Bunda menggeleng.

"Nggak kok, asal menjadi istri yang bisa menyikapi segala keadaan!"

"Kalau Kismi nggak kuat gimana? Masak mau minta cerai?" Bunda menggeleng lagi.

"Bunda tau ini memang belum saatnya bagi kamu Kis, karena keadaan yang rumit menjadikanmu terjerat. Jangan ambil pusing Kis, fokus sekolah dulu gapapa. Biar belajar menjadi istri yang baik seiring berjalannya waktu. Lagipula, ada Ummi Aminah yang akan selalu mendukung kamu Kis, jangan Khawatir!"

Aku mengangguk, perlahan mulai paham.


  ***


Gaje nggak? Gaje nggak? Gaje lah masak nggak! WKWKW

Ampuni ketidak-jelasan alur cerita ini ya gaes, jangan kapok untuk mampir lagi!

Love kalian emmuach!

Kisah kasih Kismi (Sudah Terbit)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu