(24) Daffa itu siapa?

Start from the beginning
                                    

"Hey, kenapa?"

Tubuhnya serasa ditarik paksa ke kenyataan. Begitu matanya telah terbuka, napasnya sudah sedikit tersengal. Bola matanya bergerak gelisah menatap sekeliling, lalu jari tangannya yang tak bisa diam menggenggam satu sama lain. Setelah menarik napas dalam dan panjang, Areta buang beberapa detik kemudian secara perlahan. Begitu mulai sedikit tenang, Areta memfokuskan pandangan pada sisi pria yang tengah menampakkan wajah panik seraya mengelus kepalanya lembut.

"Kak Tara?"

"Iya. Belum berdoa apa sebelum tidur, sampe mimpi buruk kayak gitu."

Areta menatap Tara dengan tatapan sendu. Tanpa sadar dirinya bangun dengan sendirinya, lalu langsung mendekap erat tubuh Tara disana. Bukan Tara, pria dalam mimpinya tadi bukan Tara. Tapi Areta juga tak tahu siapa sosok pria yang selalu izin pergi kepadanya lewat mimpi karena sosok itu selalu hadir dalam bentuk siluet. Wajahnya tidak jelas, tapi setiap genggaman tangan, elusan di kepala, atau kontak fisik mereka terasa begitu nyata.

"Udah tenang?" Tara membuka suara lagi, membuat Areta secara perlahan melepaskan pelukannya.

Areta mengangguk kecil. "Udah lama disini?"

"Satu jam yang lalu apa, ya? Sekitaran itu." Balas Tara.

"Nggak takut sama Ayah apa main masuk ke kamarku?"

"Om kan belum pulang kerja." Tara nyengir tanpa dosa. "Tapi udah izin Tante Ira, kok. Lagian pintu kamar kan aku buka."

"Terus sedari tadi itu..." Areta melirik pada laptop milik Tara yang menyala. "Cuma nungguin aku sambil nyambi skripsi?"

Tara hanya mengangguk sambil memberikan senyum manis yang jujur, membuat Areta seketika langsung mengulum senyum. Mata Tara terlihat sangat lelah, kayaknya pacarnya itu selalu begadang setiap malam. Entah itu karena mengerjakan skripsi, atau karena main game di hp. Areta tak tahu mana yang benar. Tapi dia berani yakin seratus persen kalau Tara memang suka begadang.

Areta ikut turun dari kasur, lalu duduk lesehan di atas tikar gulung yang digelar Tara. "Udah sampe bab berapa sih, yang?" Areta bertanya sembari mengambil ikat rambut untuk mencepol rambutnya.

"Bab empat. Tadi baru aja dapat revisi, langsung aku benerin. Boleh kok di doain bisa sidang bulan depan."

"Aamiin." Areta menepuk kepala Tara seakan-akan Tara adalah anak kecilnya. "Istirahat jangan lupa. Matanya udah kayak mata panda."

"Kelihatan emang?" Tara kembali menatap layar laptop miliknya dan menge-save file skripsinya.

"Banget." Sahut Areta sambil terkekeh, lalu tangannya menekan perutnya sendiri.

"Tiduran aja."

"Udah mendingan, kok. Oh iya, aku punya sesuatu." Tara berdeham. Lalu Areta mulai sibuk membuka laci yang ada di kamarnya, tepatnya di bawah meja belajarnya. Begitu kotak kecil itu sudah ia genggam, Areta kembali mendekat kearah sang pacar dan duduk di sampingnya. "Nih."

Seraya tersenyum Tara menerima. "Buat aku?" Areta mengangguk. "Dalam rangka?"

Tapi Areta malah cemberut yang mana mengundang gelak tawa dari pria di hadapannya. Gadis itu tambah menggerutu sebal tatkala Tara malah iseng mengacak-acak rambutnya menggunakan tangannya secara brutal.

"Yang, ih!!"

"Lucu, sih."

Areta mendengus sebal. Lalu malah merebahkan diri di lantai dengan hp di tangannya. Intinya, Areta tengah merajuk. Tara tidak peduli, dia malah mulai membuka kotak kecil itu dengan hati yang amat senang. Begitu dibuka, matanya langsung berbinar. Ditatapnya wajah sang pacar yang masih cemberut. Bukannya jelek, jatuhnya malah menggemaskan.

Rain In YouWhere stories live. Discover now