Episode 1 Game Over

Start from the beginning
                                    

Itulah kenapa aku sangat asing saat menceritakan mereka. Aku bak pihak ketiga yang bercerita tentang adegan-adegan nista mereka. Sebab sejujurnya aku tak ingin mengenal mereka sebagai bagian dari hidupku. Aku malu punya papa dan mama seperti mereka, meski papaku kaya dan mamaku sangat cantik.

Ya, inilah pagi hariku yang indah dalam tanda kutip. Dalam artian, pagiku teramat buruk. Terjadi lebih sering belakangan ini. Mereka ribut hampir setiap hari. Masalah yang sepele, mungkin.

Semisal, mungkin papa yang ketahuan pulang pagi dengan bau wewangian kembang sekebon di jasnya. Dan berakhir dengan bekas pukulan di pipi mama karena kecurigaan tanpa landasan, seperti biasalah.

Alasan papa simpel, jasnya ketumpahan parfum mobil saat ngerem mendadak. Ya masuk akal, tapi nggak make sense ketika cemburu menguasai otak.

Alasan pertengkaran mereka masih sama dengan lima tahun yang lalu. Papa katanya selingkuh sama sekretarisnya – dari yang berbadan bahenol sampai yang subur – oleh mama. Papa yang selalu sibuk hingga lupa pulang. Meeting, ketemu clien, ketemu investor, ngurus anak perusahaan, dan lain seanak-anaknya. Lanjut, papa yang nggak pernah punya quality time sama keluarga.

Membuat pikiran mama makin liar, subur tak terkendali.

Membuat ending mereka selalu sama. Mama minta cerai, sedangkan papa tak pernah mengiyakannya.

Dulu, papa masih lunak. Merayu dan membujuk mama dengan lembut pakai dikasih barang-barang mahal. Namun, seiring sikap curigaan mama yang makin menjadi, papa kehabisan jiwa malaikatnya. Hingga hanya seringaian, cacian, pukulan, dan kekasaran yang jadi dialog-dialog keduanya.

Entahlah, tahu ah gelap! Nggak mau mikir, capek! Dulu, waktu mereka masih awal bertengkar serasa duniaku hancur. Dunia udah kayak perang dunia keduabelas. Berasa disuruh nyunggi langit di atas kepala, beraaat banget.

Sekarang mah bodo amat! Mau mereka cerai kek, rujuk kek, kawin lagi kek, aku udah nggak peduli. Mungkin ini yang namanya apatis. Kelakuan dua orang yang katanya dewasa itu tak ubahnya dari kelakuan anak PAUD yang rebutan mainan.

"Kita cerai, rumah ini jadi milikku dan Sea! Kamu urus itu, Pa!" Suara mama kembali terdengar setelah derap langkahnya menghentak keras lantai rumah besar ini.

Aku tersenyum kecut, lebih ke menyeringai. "Sea ikut aku", maksudnya aku ikut mama gitu?

Hell no, aku bebas menentukan hidupku mau ke mana. Nggak ikut mama atau papa itu jauh lebih baik. Daripada hidup dengan mama yang cemburuan dan curigaan, lantas hidup dengan papa yang sibuknya selangit kayak gitu? Mendingan aku hidup mandiri aja.

Aku bisa tetap waras.

Kutarik seprei dengan tenaga sedang. Kurapikan kasur yang teramat jarang kutiduri ini. Kutepuk-tepuk bantal sembari mendengar papa dan mama beradu argumen. Dulu kukira itu sangat menakutkan, aku takut kehilangan papa dan mama jika mereka bercerai. Sekarang mah kuanggap aja musik dangdut, orkes melayu.

Receh dan kampungan, serta bikin aku ngakak tanpa ampun di balik pintu kamar.

"Selamat bertengkar, Papa Mama!" gumamku sambil melipat selimut beludru warna merah muda.

Lantas aku berjalan santai menuju meja belajar, meja lamaku penghuni kamar ini. Kubuka laptop dan menyalakannya, sekedar mengecek singkat feed Instagram. Kemudian membuka aplikasi musik dan menyetel lagu dengan wajah santai. Bahkan, musik-musik ini jauh lebih menarik daripada keluar kamar dan menyapa keduanya.

Malas terlibat tetek bengek dunia rumah tangga. Kondisi mereka membuatku depresi, trauma sama dunia pernikahan. Sehingga di usia yang masih 21 tahun ini, aku sudah memutuskan untuk melajang seumur hidup.

Hai, Sea! (End/Complete)Where stories live. Discover now