31

812 92 18
                                    

The first story

Don't Judge me, because this is just my imagination

Mmmh 🙂

🔪

.
.
.


Malam ini, langit Korea dipenuhi dengan salju yang berjatuhan di bumi. Kedua anak manusia ini seolah menguji ketahanan tubuh dengan menerjang derasnya salju yang turun di jalanan. Irene dan Jennie saling bergenggaman tangan di dalam saku mantel tebal milik Irene. Tangan mereka bertautan dan menempatkan hot pack di tengah-tengah jari jemari mereka.

Irene menoleh membenarkan masker Jennie yang turun. Kembali mengeratkan syal Jennie dan tudung di kepala sang kekasih agar ia selalu merasa hangat. Senyuman itu seolah menjadi hadiah bagi Irene. Gadis tertua memberikan kecupan singkatnya di pipi mandu Jennie meskipun bibirnya terhalang oleh masker.

"Baennie, kita akan kemana?"

"Jalan-jalan."

Jennie menekuk wajahnya kebawah, "Tapi aku mulai kedinginan Baenny."

Irene segera menarik Jennie mendekat untuk membawanya kedalam pelukan hangat. Meskipun pelukan itu dari samping, Jennie masih bisa merasakan kehangatan disana.

"Sudah merasa hangat?"

"Eum... Hangat."

Tiba-tiba Irene menghentikan langkahnya dan menahan tubuh Jennie agar mengikuti gerakannya. Jennie tersentak bukan main, tanpa permisi Irene tiba-tiba menggendong tubuh kecilnya seolah karung beras yang ringan.

Jennie berulang kali memukul punggung Irene agar menurunkan tubuhnya, akan tetapi gerakan Irene semakin cepat menuju rumahnya. Apa yang dilakukannya? Aishh...

"Eonnie!"

"Yakk, turunkan aku!"

Sesampainya di depan gerbang rumah Jennie, gadis pemilik mata kucing tajam itu menatap marah kearah Irene yang hanya diam sembari tersenyum kecil. Katanya mau jalan-jalan malah membawanya berlari kembali kerumah?

"Apa senyum-senyum!?"

"Hehee,, salju mulai lebat sayang. Sekalian pemanasan."

Jennie tak menghiraukan ucapan Irene dan memilih masuk lalu mengunci Irene dari dalam. "Yakk, buka gerbangnya Chagi."

.
.
.

"Appa, wake up,, pleasee..."

"Appaaaa.. Hiks..."

"Ku mohon Appa... Aku sudah terlalu membohongi adikku. Ku mohon kali ini saja, jangan membuatku semakin merasa bersalah Appa!"

"Jangan membuatku semakin merasa berdosa..."

"APPAAAA...! Hiks.. hiks.."

Tangisan pilu kini menggema kuat di salah satu sudut ruangan kamar rumah sakit ini. Berulang kali ia menggoyangkan tubuh pria paruh baya itu agar membuka kembali matanya, lalu tersenyum lembut kearahnya, lalu menyebut namanya juga nama adiknya, lalu memeluknya, lalu... lalu...

"Hiks... Appa... APPAAA....!"

"APPAAAA...! Hikss...!"

Kepalanya jatuh diatas dada sang ayah yang telah menutup mata. Wajahnya kini benar-benar pucat dan dingin. Ia ingin menolak kenyataan ini, ia tetap berasumsi bahwa sang ayah masih hidup dan masih ada di sampingnya.

Our Story [COMPLETED]Where stories live. Discover now