♡20: Teriak♡

91 68 73
                                    

"Ada dua pilihan ketika sedang marah yaitu diam atau memberontak. Pilih dengan bijak dan terima resikonya."

-Bulan Faressa-

Malam itu semua orang di rumah itu tidak baik-baik saja. Teriakan yang memekikan telinga terucap dari Ferdi dan Gabriela.

Ya, kisah lama terulang kembali dan menorehkan luka di hati anak gadisnya. Tidak ada bantahan yang keluar darinya, tapi dari caranya menatap mereka sudah jelas tersirat duka mendalam.

Anak mana yang tidak terluka dibentak orang tuanya sendiri? Anak mana yang bisa bertahan dan bodo amat dengan perlakuan tidak adil dari mereka?

Orang yang diharapkannya memberikan pelukan hangat, bukan malah meneriakkan teriakan yang menyakiti sanubari.

Hatinya hancur malam itu, tanpa banyak berbicara dia memalingkan wajah dan pergi dari hadapan mereka.

Apa lagi yang mau dibahas? Apa yang harus dibela jika orang tua sendiri tidak mempercayai anaknya? Apa lagi yang tersisa?

Bulan menutup pintu kamarnya dan menangis sejadi-jadinya. Ia memegang dadanya, rasanya perih sekali.

Kata orang, lebih baik luka secara fisik dibandingkan luka dalam hati. Bagaimana bisa mengobati luka yang tidak ada wujudnya?

Dengan cara apa dia bisa bangkit melewati luka batin jika tidak ada yang menopangnya?

Gadis itu sudah lelah dan merebahkan dirinya di kasur. Detik demi detik berlalu, ia berusaha tertidur hingga akhirnya bunga tidur membawanya pada dunia mimpi. Katanya, kesusahan sehari cukuplah sehari.

Jadi, cukuplah kesedihan hari ini untuk hari ini saja. Tidak perlu dibawa sampai esok hari, bukan?

Mentari menyapa cakrawala, kicauan burung begitu merdu hingga gadis itu terbangun. Tidak, bukan karena kicauan burung melainkan alarm yang berdendang sedari tadi.

Berhubung ia tidur cepat sehingga ia lebih cepat juga bangunnya.
Setiap bangun tidur, harus tersenyum dan bersyukur.

Mengenang masa lalu itu tidak terlalu penting jika hanya mengingatkan pada duka yang terjadi. Yang ada membuat perasaan semakin terpuruk dan terjebak dalam kesedihan tiada akhir.

Kecuali dengan mengingat masa lalu membuat dirinya mengingat kebahagiaan yang pernah ia rasakan maka tidak apa.

Tidak ada yang bisa dirubah juga dari masa lalu, bukan? Mau menangis seperti apa, masa lalu tetaplah seperti itu.

Malah ia sempat berpikir ingin bunuh diri, ia tidak kuat hidup tanpa adanya dukungan dari orang yang disayanginya.

Di pikiran mereka hanya kerja, uang, dan nilai yang bagus. Bekerja dari mentari terbit hingga terbenam, lalu menuntun anaknya rajin belajar dan berprestasi tanpa membiarkan menikmati masa bermainnya. Seperti itukah cara mendidik anak yang baik?

Terkadang, ia tidak mengerti seperti apa cara berpikir orang tuanya. Yah, menyatukan dua kepala saja sudah susah, apalagi menyatukan tiga kepala?

Setiap orang dengan keras kepalanya berpegang teguh pada prinsip dan perkataan yang ingin didengarnya. Jadi, tidak apa-apa bila tidak mengerti jalan pikir orang lain, lagipula setiap orang sudah sewajarnya menghargai orang lain tanpa memandang status.

I Am Not Bucin! (TAMAT)Onde histórias criam vida. Descubra agora