15. Rasa Rindu

138 103 167
                                    

"Gimana om?" Tanya Sam pada dokter di depannya itu.

"Kamu yang kuat ya, Tiara pasti nemenin kamu terus kok, kalau kamu gamau ada yang tau selain saya, dan orang tua kamu. Tiara, walaupun ga sengaja tau pasti bakal jaga rahasia ini. Om yang tanggung jawab deh, kalau urusan anak om!" Erwin mengacak rambut Sam, pasiennya.

"Satu bulan enam hari, om?" Tanya Sam memastikan. Matanya memandang sang dokter penuh harap. Berharap waktu yang singkat itu bisa ditambahkan.

Erwin mengangguk sendu. Tak ada dokter yang tak ingin pasiennya sembuh. Apalagi jika pasiennya adalah orang yang bertanggung jawab memastikan 'ada' ayah untuk cucunya. Sam mengangguk mengerti. Ia tersenyum pada Erwin, dokter yang ia panggil dengan sebutan 'om' itu. Ia lalu pamit dan langsung berjalan keluar ruangan.

Di balik ruangan, Tiara mondar-mandir menunggu Sam keluar dari ruang praktek ayahnya. Ia terus berharap Sam akan baik-baik saja untuk sekarang dan kedepannya.

Ceklek!

Pintu terbuka dan memunculkan orang yang sedari tadi Tiara khawatirkan. Sam tersenyum padanya. Senyum paksa. Senyum penuh kebohongan. Astaga! Ingin rasanya Tiara memeluknya. Tapi ia tau ia tak pantas melakukan itu.

"Makasih ya Ra!" Ucap Sam. Tiara mengangguk. Ia senang membantu Sam.

★★★

Nico menatap Ella dari kejauhan. Sudah satu minggu Ella marah padanya. Gadis itu ternyata tak main-main dengan perkataannya. Setiap kali ia sadar Nico memperhatikannya, Ella selalu berbalik. Ia tak mau menatap Nico sedikitpun.

Seperti saat ini. Ella tengah bersama Juna duduk berdua di kantin sekolah. Nico hanya bisa duduk di kejauhan memperhatikannya. Demi apapun, Nico tak suka ada Juna di dekat Ella. Perasaannya melihat Juna di samping Ella jauh lebih parah dari perasaannya jika Sam yang berada disitu.

Gadis itu tersenyum senang. Raut bahagia tercetak jelas di wajahnya. Berbeda dengan pria di hadapannya yang terus berusaha membuat Ella tertawa. Pria itu justru terlihat tanpa cinta. Hanya sekedar tertarik. Ia terus berusaha membuat Ella jatuh kedalam pelukannya.

Dan, yah, Ella memang sudah jatuh. Nico tau, bodoh mencegah Ella melakukan hal yang ia inginkan. Ia akan tetap melakukannya walau dunia menolaknya.

Saat ini, Juna dan Ella diam, saling berpandangan dan saling senyum. Nico takut. Jangan bilang lagi-lagi Juna akan menyatakan cintanya. Oh, astaga, Nico bingung setengah mati.

"La," panggil Juna. Ella yang masih menatapnya hanya menaikkan alisnya sedikit.

"Kenapa?" Bibirnya bergerak hampir tak bersuara mengucap kalimat tanya itu.

"Mau ga-"

"HEY ELLA!" Nico teriak, ia berlari menghampiri Juna dan Ella. Juna dan Ella sama terkejutnya. Mereka memunculkan ekspresi penuh tanya pada Nico.

Nico tak sadar melakukannya. Astaga, sekarang ia tak tau harus berbuat apa. Tuhan, bantu Nico!

"Hehehe," ia cengengesan di depan dua sejoli itu. Astaga, kenapa otaknya buntu?

"Ngapain lo?" Tanya Ella ketus. Masih ada tiga minggu untuk tidak bicara pada Nico.

"Em, gue mau ngomong sama lo," kata Nico. Ya, lebih baik ia saja yang menyatakan cintanya.

"Ha? Mau ngomong apaan?" Tanya Ella bingung. Aneh sekali sahabatnya ini.

"Mm, gue mau-"

Juna panik, oh, astaga, ia tau, Nico akan menyatakan cintanya terlebih dahulu.

SemestrialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang