Bab 1

16.7K 1K 9
                                    

Segerombol anak datang menyambut ketika aku sampai di rumah Mas Arya.

"Udah kayak panti asuhan aja, Mbak." selorohku saat Mbak Kinan menuruni tangga. Seperti biasa, dia hanya tersenyum seraya menggeleng kecil.

"Gimana kabar kamu?"

"Alhamdulillah baik, Mbak." jawabku menyahuti pertanyaannya. "Mbak Kinan gimana? Dedeknya sehat?" tanyaku antusias. Ya, kakak iparku itu tengah mengandung anak yang ketiga.

"Alhamdulillah keponakan kamu ini sehat. Udah segini." ucapnya sambil menunjukkan jempol tangannya.

Pancaran kebahagiaan nampak jelas dari binar mata Mbak Kinan. Aku bersyukur, kakak lelakiku akhirnya bisa membahagiakannya setelah masalah-masalah yang datang menerpa rumah tangga mereka. Aku bersyukur karena wanita yang telah dinodai oleh Mas Arya ini tetap mau mendampingi pria keras kepala itu. Tidak mudah menjadi Mbak Kinan yang mau memaafkan dan bersama dengan pria yang merusaknya.

"Semoga sehat-sehat ya, Mbak. Dua-duanya sampai lahiran nanti." balasku antusias. Aku suka jika menambah keponakan lagi.

"Doain biar lahirnya cewek, ya. Biar Ara ada temennya."

Sontak aku melirik anak-anak yang masih mengerubungiku sejak tadi. Ada tiga anak perempuan dan tiga anak laki-laki. Ara yang paling tinggi.

"Lha ini udah ada temennya." ucapku sambil mengusap kepala dua anak perempuan yang tinggi badannya hampir sama. Mungkin mereka seumuran. Yang satu matanya sipit dan yang satunya bulat seperti telur ayam, mereka sangat menggemaskan.

Mbak Kinan hanya tersenyum. Dia memang hobinya menebar kebaikan dan kebahagiaan untuk orang di sekitarnya. "Anak-anak ayo salim dulu sama Tante Dian." suruhnya dan seketika anak-anak itu menghambur kepadaku. Mbak Kinan benar-benar berbakat menjadi ibu panti yang bisa mengasuh banyak anak sekaligus.

"Gimana mau salim, orang dari tadi ngobrol terus sama Mama."

Anak yang paling tinggi itu berceloteh. Ara-ku sekarang sudah besar. Dia cantik sekali seperti Mbak Kinan. Empat tahun kutinggal menuntut ilmu di luar negeri, dia sekarang tumbuh menjadi seorang gadis cilik. Usianya sudah dua belas tahun. Satu tahun lagi sudah mau masuk SMP. "Hai Bolanya Tante ...."

Bibir Ara cemberut, dia memang tidak suka jika dipanggil Bola. Saat kuhubungi lewat sambungan jarak jauh pun dia akan langsung marah jika kugoda. "Tante,,, aku marah nih."

"Uluh-uluh, masak Tantenya baru pulang udah ngambek aja. Kamu nggak kangen sama Tante?" tanyaku mencandainya.

Gadis cilik itu lantas tersenyum memamerkan barisan giginya yang putih. Sudah tidak ompong lagi sekarang. Dia lalu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar meminta pelukanku.

Aku berlutut, kami berpelukan dengan sangat erat demi menyalurkan kerinduan. Bocah yang dulu sempat menjadi tombak kesedihan Mbak Kinan itu kini berubah menjadi sumber kebahagiaan untuk siapapun yang berada di dekatnya. Tak jauh beda dengan Mbak Kinan, Ara yang murah senyum juga sangat menenangkan.

"Muach muach."

Ara mencium pipi kanan dan kiriku. Gemas, aku balas menciumnya di tempat yang sama.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang