Ketos Galak : 16 | Zoom

Mulai dari awal
                                    

"Saudara lo juga kali," ujar Favian mengingatkan bahwa kami ini adalah keluarga. Sekali lagi, keluarga.

Favian sudah menjadi adik tiri gue sejak ... kurang lebih enam tahun lalu, sejak Papa menikahi Tante Vina, sejak kami masih duduk di bangku kelas enam SD. Usia kami hanya terpaut beberapa bulan, tapi tetap saja gue lebih tua darinya.

Tidak ada yang tahu masalah ini di sekolah, kami tidak menyembunyikannya, tapi juga tidak pernah menceritakannya pada siapa-siapa. Tidak akan ada yang curiga juga bahwa kami ini adalah kakak-beradik, karena kami tinggal terpisah. Sejak Papa menikahi Tante Vina, Papa tidak tinggal lagi di rumah yang dulu kami tinggali bersama Mama. Papa pergi bersama keluarga barunya, ada Tante Vina di sana, Favian, juga Jia yang baru lahir setelah satu tahun pernikahan mereka.

Namun, gue tetap memutuskan untuk tidak pergi ke mana-mana, tetap di rumah. Tinggal bersama kenangan dengan Mama.

Ada hal yang membuat gue enggan pergi, ada hal yang membuat gue marah. Sekeras apa pun Papa memaksa gue untuk ikut pergi, gue tetap tidak ke mana-mana. Mungkin, sejak saat itu hubungan kami merenggang.

Dan Favian, cowok yang senang sekali terbahak-bahak itu, senang sekali mendekati gue padahal sudah gue pukul mundur berkali-kali. Namun, kali ini gue akui, dia berguna.

"Bensinnya lo isiin, kan?" tanya Favian seraya menerima kunci motor dari tangan gue.

Gue melempar kemeja batik ke tempat tidur, lalu berjalan ke arah kamar mandi untuk sekadar cuci muka karena gue sadar memiliki Papa yang tidak sabaran. "Udah," sahut gue dari balik pintu kamar mandi.

"Jena gimana?" tanya Favian lagi.

Tidak pernah ada keinginan untuk menceritakan tentang apa pun pada Favian, tapi Favian selalu bisa membaca apa yang gue alami. Gue jadi curiga, sebenarnya siapa sosok buku yang terbuka yang bisa dibaca siapa saja di sini? Gue atau dia?

"Gitu lah," balas gue sekenanya. Gue sudah keluar dari kamar mandi dan meraih handuk kecil dari gantungan dekat pintu.

Favian duduk di tepi tempat tidur, menatap gue yang kini mengenakan kemeja batik miliknya. "Kapan jadiannya sih, anjir? Kok, gue yang kesel. Lama amat PDKT-nya?"

Gue tidak sempat membalas pertanyaan itu, karena kini pintu kamar yang terbuka membuat kami berdua menoleh bersamaan.

"Kaezar, kamu baru sampai?" tanya Papa yang baru saja menurunkan Jia dari gendongan. Pintu di belakangnya tertutup sendiri saat langkahnya terayun memasuki kamar.

Gue mengangguk, duduk di samping Favian seraya mengancingkan kemeja batiknya.

"Papa pikir, ketika Papa nggak mengizinkan kamu bawa mobil, kamu nggak akan nekat meminjam motor Rizwan." Papa berkacak pinggang, menggeleng, tidak habis pikir.

Jia yang baru saja lepas dari pelukan Papa, kini berlari ke arah gue, mengalungkan dua lengannya di tengkuk gue dengan manja. "Ini keringat?" tanya gadis kecil itu seraya mengusap air di ujung rambut.

"Bukan, tadi Mas Kae habis cuci muka."

"Oh."

"Kamu ada perlu apa sih, Kae? Sampai rela bolak-balik Bandung-Jakarta?" Papa masih terlihat penasaran. Karena, gue memang pergi tanpa penjelasan setelah permintaan izin memakai mobil ditolak.

"Itu, ceweknya—gebetannya maksudnya—sakit, masuk rumah sakit." Seharusnya Favian memang gue angkat sebagai juru bicara agar gue tidak banyak membuang energi untuk berbicara dengan Papa, tapi kadang dia terlalu mewakilkan jawaban sebenarnya tanpa menyembunyikan apa pun, jawaban yang sering kali membuat gue memutar bola mata.

Ketos GalakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang