11. ✓

13.9K 1.5K 1
                                    


Seperti biasa Adelin akan menemui Kafka setelah jam istirahat pertama berbunyi, dia sudah tak sanggup lagi untuk menemui Kafka di setiap pagi karena dia selalu datang terlambat dan hanya saat hari pertama itu saja dia berhasil untuk datang pagi-pagi buta. Sebenernya Adelin tak bangun kesiangan hanya saja setelah membuka mata dia tak langsung bangun dari tempat tidur melainkan meraih ponselnya lalu scroll tiktok sampai lupa waktu, dan berujung telat ke sekolah jadilah Adelin memilih mengubah jadwal untuk menggapeli Kafka di jam istirahat pertama.

Naufal yang baru saja kelar membuang sampah tersentak kaget, saat dirinya berbalik ada Adelin yang berdiri sambil tersenyum lebar di hadapannya.

"Astagfirullah setan!" kagetnya.

"Lo setannya," semprot Adelin.

Naufal menyenderkan punggungnya pada tiang sambil bersedekap dada, "Mau ngapelin Kafka?"

Adelin mengeleng.

"Lah terus?"

"Udah tau pake nanya lagi!" semprot Adelin sensi.

"Selain suka nyuri lo juga suka ngegas ya," kata Naufal sambil geleng-geleng kepala.

"Enak aja, gue nggak suka nyuri sukanya Bubu," sanggah Adelin dan segera berbalik memasuki kelas Kafka di susul Naufal di belakang.

"Apa nih datang bareng!" heboh Adrian menyambut kedatangannya.

"Lo katanya tim sukses gue sama Bubu, kenapa kesannya memperkeruh suasana," kesal Adelin pada cowok itu.

Adrian menyengir kuda di tempatnya.

Adelin celingak-celinguk tak menemukan Kafka, "Bubu mana?"

"Tuh di sana!" ucap Adrian menunjuk Kafka yang sedang duduk di bangku dekat jendela, bukan di tempat duduknya sendiri

"KAFKA, NIH FANS LO DATANG!" teriakan Adrian, membuat Kafka yang sedang membaca buku menoleh.

Adelin dengan senyum tengil khasnya berjalan mendekat kearah Kafka dan tanpa meminta ijin, langsung menggambil duduk dikursi samping Kafka yang sebenarnya itu tempat duduk Naufal, iya Kafka memang sudah pindah tempat duduk.

"Kenapa?" Kafka membuka suara, karna sedari tadi Adelin hanya diam sambil menopang dagu menatap dirinya.

"Mau minta penjelasan," jawab Adelin.

"Penjelasan apa?"

"Tentang kejadian kemarin sore," jelas Adelin.

Sebenarnya itu hanya alasan saja, Adelin ingin berbicara lebih banyak dengan Kafka.

Kafka mengangguk mengerti, "Penjelasan apa yang perlu lo dengar?"

"Bubu sejak kapan punya Adik? Kata Adrian, Bubu tuh anak bungsu,"

Kafka menoleh dengan tatapan tajam pada Adrian yang langsung pura-pura menatap sekitar sambil bersiul.

"Keponakan,"

"Ganteng banget, kira-kira anak kita nanti gitu nggak yah modelnya,"

Kafka menyentil kening gadis itu, "Belajar yang benar!"

"Apa? Cara buat anak? Tenang aku nggak pernah alpa di mapel biologi,"

Kafka berdecak.

"Kenapa lagi? Oh atau mau buat sekarang?"

"Jangan gitu ke cowok lain, belum tentu semua cowok yang lo temui tahan sama godaan dan kegoblokan lo ini," kata Kafka pelan dan segera beranjak dari kursi dan keluar kelas meninggalkan Adelin.

Sepeninggalan Kafka, Adelin menyentuh bagian dadanya sekarang jantungnya berdegup tak karuan, "Bubu ngomong sepanjang itu kira-kira nanti minta bayaran nggak ya? Kalo dia minta bayaran gue sanggup deh bayar tiap hari. Suaranya aja ganteng gitu, nggak kebayang anak gue ntar modelnya gimana kalo bapaknya Kafka Pratama,"

"Del,"

Adelin berhenti mengoceh, menoleh pada cowok teman kelas Kafka yang baru saja memanggilnya, "Apa?"

"Mau buat sama gue mau?"

"Wah pelecehan lo bangsat, maju sini! Lo kira gue takut sama cowok modelan kaya lo. Menang otot doang, otak nggak ada, lo sekolah tuh yang benar biar pintar kaya Bubu bukan buat nonton bokep di sekolah," ucap Adelin berapi-api.

"Lo seharusnya paham mana bercanda mana serius," tambah Adrian, dan menyempatkan meninjau perut cowok itu sekali.

...

Hai, Bubu! (END)Where stories live. Discover now