Satu

39 7 3
                                    

"Yan! Rayyan!" teriak seseorang dari belakang. Sangat keras membuat mau tak mau mereka menjadi pusat perhatian di koridor sekolah. Hal itu membuat seseorang bernama Rayyan menoleh dan mendapati sahabatnya itu tengah berlari ke arahnya bak lintah darat yang mengejar korbannya.

"Ray—haduh capek gue ngejar lo. Ada kabar penting nih!" ujar lelaki itu menunduk dengan ngos-ngosan. Lelah juga ternyata berlarian seperti ini.

"Kenapa?"

Nial menyuruh Rayyan untuk duduk di bangku terdekat karena ia sudah tak kuat lagi untuk berdiri. Mau meninggal rasanya. Setelah rasa lelahnya sudah sedikit mendingan, lelaki itu mulai mengeluarkan suaranya. "Hari ini gue ketemu cewek can—Eh Rayyan! Lo mau kemana sih?"

Rayyan mendengus sebal. Jika saja Nial bukan sahabatnya, mungkin sudah sedari tadi wajahnya rata dengan tanah. Untuk apa coba dia memberitahukan hal yang super duper tak penting itu padanya? Sangat tak faedah sama sekali. "Lo ngebuang waktu dua menit tiga puluh tujuh detik gue dengan hal yang nggak berguna."

"Dih, perhitungan banget sih lo! Btw Yan cewek cantik yang gue bilang tadi namanya Alin. Dari namanya aja udah manis, cantik, unyu-unyu gitu kan?"

"Alkali?"

"A L I N. Alin Yan Alin. Lo sih otak isinya pelajaran mulu makanya nggak bisa bedain nama orang mana nama unsur kimia!" sungut Nial yang sudah lelah dengan sikap kaku sahabatnya itu.

"Serah deh. Dasi lo mana?"

"Bimsalabim jadi apa prok prok prok!" Nial lalu mengeluarkan sebuah kain panjang berwarna abu-abu dari belakang tubuh Rayyan dengan bangga. "Surprise! Gimana sulap gue? Keren nggak?"

"Thanks Ka," ujar Rayyan ketika tahu bahwa di belakangnya kini sudah ada Raka yang memberikan dasinya kepada Nial. "Pasang nggak?"

Nial menggeleng, menolak. Ia benar-benar tak mau memakai benda itu. Menurutnya memakai dasi membuatnya terlihat sangat cupu sehingga menurunkan kadar ketampanannya. Ia juga merasa seperti gantung diri ketika memakainya. Sesak dan membuatnya sulit bernafas.

"Okay." Rayyan melihat arlojinya sebentar lalu membuka buku hitam yang biasa SMA Atlanta sebut sebagai death note itu untuk mencatat sesuatu. "Pukul sembilan lewat delapan belas menit, Nial Aldebaran melanggar pasal 10—"

Sontak saja Nial segera memasang dasinya dengan cepat. "Nih nih, udah gue pasang. Rese banget sih lo ama temen sendiri! Apus tuh! Apus! Nggak bisa gitu kasih pengecualian buat gue Yan?"

"Korupsi," kata lelaki itu lalu meninggalkan Nial yang mengumpat tiada henti diikuti Raka yang menjulurkan lidah mengejek. "Mamam tuh dasi!"

Dariel Rayyana adalah salah satu siswa SMA Atlanta yang tampan bak dewa. Ia memiliki rahang yang tegas, coklat sawo matang yang maskulin, bibir yang sedikit tebal tetapi begitu seksi, dan roti sobek yang tersembunyi di balik seragam abu-abunya. Tak hanya itu, seorang Rayyan juga sangat pintar. Ia dua tahun berturut-turut menjadi peringkat pertama paralel sekolah dengan nilai yang nyaris sempurna. Lelaki itu juga sangat atletis dan multitalen. Ia bisa melakukan olahraga apa saja dan memainkan alat musik apapun. Mulai dari gitar, piano, sampai drum. Rasanya tak ada yang tak bisa itu lakukan. Tak heran jika lelaki itu terlihat begitu sempurna di mata kaum hawa. Oleh karena itu, Rayyan dijuluki sebagai Most Wantednya SMA Atlanta. Namun, di balik itu ia juga dijuluki sebagai Beruang Kutub karena sikapnya yang dingin dan galak kepada siapapun.

Rayyan dulu pernah ditunjuk menjadi Ketua OSIS, namun dengan blak-blakan ia menolaknya. Alasannya hanya satu, ia tak suka melakukan rapat. Apalagi saat pulang sekolah karena ia sudah memilki jadwal sendiri yang tidak dapat diganggu gugat saat jam itu. Akhirnya sebagai gantinya, ia harus menjadi Ketua Kedisplinan yang bertugas mencatat siswa-siswi yang melanggar peraturan-peraturan sekolah. Tentu ia senang mendapatkan peran itu. Jika ditanya mengapa, alasannya juga sederhana. Ia suka memberikan hukuman.

Saat istirahat begini, tugas Rayyan adalah berkeliling area sekolah dengan buku hitam yang selalu ia bawa untuk mencatat berbagai pelanggaran yang dilakukan siswa-siswi SMA Atlanta demi menegakkan kedisplinan di lingkungan sekolah.

"Kak Rayyan! Gue lupa pake dasi. Gimana dong?" Tanya seorang cewek yang tiba-tiba datang di hadapannya.

Rayyan mendengus. Perannya menjadi ketua kedisiplinan kadang disalahgunakan untuk ajang modus. Menyebalkan. "Nama?"

"Bunda," kekeh cewek itu dengan pipi yang memerah.

"Bunda?"

"Iya Ayah. Kenapa?"

Benar kan? Rayyan sampai heran, mengapa mereka bisa sekreatif itu membuat gombalan sampai ke hal-hal yang Rayyan tak bisa pikirkan? Mengapa mereka tak menggunakan bakat itu menjadi novelis atau comedian begitu?

Tak mempan digombali seperti itu, Rayyan malah menatap gadis itu dengan tatapan tajam nan menusuk. "Lari lapangan dua puluh kali."

Mendengar perintah Rayyan membuat cewek itu melongo seketika. Bahkan kekehannya memudar dengan begitu cepat berganti dengan wajah terkejut luar biasa. "E—Eh, nggak jadi. Gue lupa dasi gue ada di laci. Gue ambil dulu ya Kak. Dah!" ujar cewek itu yang langsung berlari entah kemana asalkan tak disuruh lari lapangan.

Akhirnya Rayyan mulai berjalan lagi, mengamati siswa-siswi yang berlalu lalang untuk memastikan mereka memakai dasi, ikat pinggang, badge, serta sepatu dengan warna yang benar. Ia tak mau melewatkan satu mangsa sekalipun hingga dari arah toilet keluar seorang troublemaker yang siap dilahap bulat-bulat oleh lelaki itu. Mangsa segar telah di depan mata.

"Nama?" Tanya Rayyan tanpa basa-basi, menghadang cewek di depannya dengan tatapan dingin.

"Kenapa? Mau ngajak kenalan juga kayak lainnya? Mau minta nomer telepon? Username instagram sama tiktok? Gue nggak punya. Minggir!"

Namun, bukannya minggir, Rayyan malah menghadang cewek itu tepat di hadapannya. Ia mengarahkan penanya ke tubuh cewek itu mulai dari atas sampai bawah. "Udah nyerocosnya? Sekarang giliran gue. Dasi nggak ada. Badge nama kosong, lo sekolah di Indonesia atau Polandia sih? Badge bendera kebalik, nggak pake ikat pinggang, rok terlalu pendek, kaos kaki kurang dari 5 cm di atas mata kaki, sepatu bukan hitam." Rayyan menghela nafasnya. "And... Pakai make up terlalu menor. Mau sekolah atau kondangan? Nama?"

Cewek itu memutar bola matanya dengan malas. "Sorry gue bukan peserta X-Factor yang bisa seenak jidat lo komentarin. Gue nggak ada waktu. Minggir!"

"Oh, nama yang panjang..."

"Bego," kata cewek itu tertawa meremehkan.

"Nama?"

Cewek itu mendengus kasar. Ia tak punya banyak waktu untuk mendebatkan hal-hal yang tak berguna seperti ini. Akhirnya, ia lebih memilih untuk segera menjawab dan pergi. "Alindhita Yeolanda. Puas? Minggir!" ujarnya pergi sembari dengan sengaja menyenggol bahu Rayyan dengan keras sedangkan lelaki itu tersenyum dengan penuh arti. Matanya menatap cewek itu dengan penuh amarah dan rasa balas dendam yang meluap-luap. "Sampai jumpa di upacara besok," gumamnya ngeri.




Halloo! Update cerita baru nii hehe. Gimana kesan pesan part pertama? Apakah bikin nagih? Apakah ada yang langsung terpukau dengan sikap Rayyan? Hmmm lihat saja nanti wkwkw

Aku harap kalian antusias dengan cerita baruku ini yaaa

See u next chapter!

RUNNER-UPWhere stories live. Discover now