08. Ancaman

29 10 12
                                    

Setelah membaca pesan singkat dari kakaknya Jihan, Cia pun memutuskan pulang sendirian. Karena perempuan itu mengabari bawah Jihan harus mengikuti rapat di sekolah sehingga Cia harus menunggu nya selesai.

Tetapi gadis itu memilih untuk segera pulang. Lagipula untuk apa ia berlama-lama di sekolah ini sendirian? Itu sangat membosankan batinnya. Oleh karena itu akhirnya ia menunggu bus datang dan mengantarkannya sampai tujuan.

Sesampainya di pekarangan rumahnya, Cia berjalan dengan wajah kebingungan. Matanya menyipit saat beberapa mobil pikup berada di rumah nya. Dan mengangkut lumayan banyak barang bahkan lemari kaca jadul milik mamanya dulu sudah di taruh kedalam mobil tersebut.

"Loh pak, ini kenapa pada di angkutin ya?" tanya Cia kepada salah satu bapak-bapak berkulit coklat dengan topi hitamnya.

"Mau di renovasi mba. " katanya setelah itu pergi melanjutkan pekerjaan nya. Tentu saja Cia semakin kaget dibuatnya. Dia berjalan ke arah halaman, dan melihat ayunan serta taman sedari ia kecil di rubah 180° bahkan kolam ikan yang kering itu sudah di hancurkan.

Ia masih tak bisa mencerna hal ini dengan sempurna. Lamunannya seketika buyar saat melihat Papanya keluar dari dalam.

"Papa kok ga bilang aku sama Ka Jihan sih kalo mau renovasi rumah? Jangan seenaknya gini dong Pa!" ujar Cia kepada Arman, membuat laki-laki itu menatap sang anak dengan tatapan remeh.

"Papa udah bilang Jihan dan dia setuju setuju aja kok, tapi Papa lupa belum bilang ke kamu, lagian kamu pasti ga bakalan setuju!"

"Terus kalo udah tau aku ga setuju kenapa jadi di rubah?" Ucap gadis itu dengan nada lirih, tangannya bergetar, ia merasa benar-benar tidak sepenting itu bagi laki-laki itu ya?

"Sebentar lagi ulangtahun nya Celin, Dia minta house party di sini. Jadi Papa sekalian bersihin halaman nya, lagian taman ini juga udah jarang dirawat." ucap Arman membuat Cia semakin merasakan sakit, apalagi saat mendengar nama Celin di balik ini semua.

Deru nafasnya naik turun, "Hahaha" dia tertawa hampa. rasanya lucu saja kenapa laki-laki itu lebih mementingkan Celin daripada kenangan yang sempat ada di taman tersebut.

"Kenapa kamu ketawa?!" Arman mengerutkan keningnya bertanya-tanya pada gadis itu.

"Lucu ya, demi anak selingkuhan papa, Papa rela ngehancurin tempat favorit kita. Eh cuma mama deh kan Papa dulu ga cinta sama mama!" ucapnya santai namun tegas membuat laki-laki itu terdiam sembari menghela nafasnya pelan.

"Papa bosen dengernya!" ucap Arman yang semakin muak mendengar Cia masih terus membahas almarhum istrinya. Karena semakin gadis itu sebut semakin pula Arman merasa bersalah.

"Mama kamu itu udah ga ada! Sekarang terima aja apa yang kamu punya!" Lanjut laki-laki jtu dengan tatapan picik. Ciapun tersenyum.

"Bisa ya Papa ngomong gitu? Bener-bener ga punya hati!" Cia memelototkan matanya.

"Papa tau kan itu tempat Cia ulang tahun dulu?! Kenapa Celin ngadain di sana juga? Kayak ga adaa tempat lain gitu?" gadis itu menahan air matanya sambil berteriak. "Kenapa harus disini?"

"Udah, mau sampai kapan? kamu hidup dalam bayang-bayang Mirna ha?"

"Selama Papa ga nyesel. Mirna yang Papa sebut itu ada di diri Cia." ungkap Gadis itu kemudian pergi meninggalkan Arman di depan sana.

Ia melangkah lebih cepat saat dada nya sesak, air matanya tak terbendung lagi, ia berjalan ke sebuah kamar bernuansa pink dengan beberapa piala di rak buku. Dengan rasa sakit yang mendalam ia menarik selimut yang sudah tertata rapi tersebut.

Salah Siapa?Where stories live. Discover now