04. Pertengkaran

65 37 33
                                    

Jam menunjukkan pukul 06:30 dan Cia sudah siap dengan seragam sekolah nya, setelah kejadian tadi malam, gadis itu memilih untuk tidur, apalagi saat mendengar ucapan Celin dia tak mau menjadi seorang yang lemah, jadi dia harus tetap hidup besok.

Ia melihat ke arah sudut kaca jendela, langit sedikit mendung, sesuai dengan suasana hatinya hari ini. Cia mengela nafasnya pelan sebelum beraktivitas panjang, ia segera mengambil tas dan mengenakan Sweater pink miliknya.

Dari bawah terdengar jelas suara mesin mobil milik Papanya, ia sengaja turun saat Papa nya berangkat berkerja, dan seperti biasa Papanya berangkat dengan gadis yang masih menjadi perusak hidupnya.

Ia menatap mobil itu berjalan keluar gerbang dan Celin yang tidak lama masuk ke mobil tersebut. Gadis itu hanya bisa terdiam dan berjalan menuruni anak tangga.

"Mau sampai kapan sih Ci, ribut sama Papa? Kakak kan udah bilang kamu jangan bikin masalah terus!" ujar perempuan berusia 28 tahun dengan sepatu hak tinggi, dan baju rapi nya di ruang makan.

Cia mengambil susu yang sudah kakaknya siapkan di atas meja. Meminumnya sambil berbicara "Sampai Papa nyadar sama kesalahannya"

"Ci!" Sontak sang kakak menepia omongannya. Gimanapun sifatnya itu tetep Papa kamu, udahlah terima aja apa yang sekarang ada di hidup kamu."

Kakk?! Emang kak Jihan ga kasian sama mama?" tanya Cia.

"Ga ada yang ga sedih kehilangan orang yang kita sayang Ci, Kakak juga ngerasa sakit yang sama kaya kamu, tapi bukan gitu caranya balas dendam"

"Apa? Nurut sama dia? Cia ga mau hidupnya di setir Papah kak, Cia ga mau terus terusan dateng ke acara bisnis yang isinya orang orang angkuh! Bahkan ke sana buat flexing bakat anak anaknya demi di pandang tinggi" Gadis itu menatap, meyakinkan Kakaknya.

"Aku muak les sana sini, belajar ini itu! Aku gak mau kayak kakak" sontaknya membuat sang kakak terdiam.

Mengingat pertama kali di ia bertemu Jihan setelah bertahun-tahun terpisahkan, sang kakak sempat bercerita bahwa semasa remaja dia tak bisa merasakan kebahagiaan seperti anak-anak lainnya.

Disaat anak lain bermain, sang kakak hanya bisa belajar di kamarnya. Saat anak lain jalan jalan menghabiskan waktu bersama orang tuanya, Jihan juga masih terus belajar demi keinginan Papanya.

Jihan mendapatkan apa yang ia capai di SD SMP dan SMA dia bahkan menjadi murid paling pintar dan sering mengikuti lomba hingga membawa pulang banyak medali, tentu saja Arman bangga terhadap putrinya, tapi apakah Arman tau Jihan tidak muak dengan ini semua?

Tentu tidak yang ia tahu adalah kesombongan diri dan hasil yang dapat ia banggakan kepada rekannya. Apalagi Arman adalah seorang pendiri yayasan salah satu SMA swasta tentu saja ia tak bangga. Tapi tidak ada yang tau mental Jihan seperti apa saat itu, Dimana Jihan di jauhi teman-temanya karena sering menyendiri, bahkan juga banyak yang iri dengan kepintarannya hingga dia di rundung oleh teman satu kelasnya.

Rasa ingin bunuh diri sempat Jihan urungkan, dia masih belum mendapatkan apa yang Papanya mau, dia berfikir bahwa ini bukan apa-apa, karena Papanya selalu berbicara bahwa Arman berkerja keras membiayai nya sehingga Jihan berutang budi untuk nya.

Lalu tiba akhirnya Jihan lulus dari sekolah SMA dengan nilai yang lumayan tinggi, dia kuliah di universitas terbaik di indonesia, karena kembali lagi dia masih ingin hidup dengan ayahnya, Oleh karena itu Jihan menolak beasiswa dari luar negeri.

"Cita-cita Jihan itu Guru pa, sama kayak mama" ucap Jihan waktu masih berusia 10 tahun, gadis kecil itu berkata pada Arman, dan laki-laki itu melarang sang putri karena tau anaknya bisa lebih dari itu namun, dengan tekat nya ia perbolehkan mengambil jurusan pendidikan dan Jihan berhasil menjadi guru di sekolah milik ayahnya.

Salah Siapa?Where stories live. Discover now