Wattpad Original
There are 5 more free parts

Memories [3]

18.3K 2.6K 106
                                    

Kehadiran Zia Mahadewi Rachman membuat hidup pasangan itu menjadi sempurna. Sejak awal, Arlo sudah menunjukkan kehebatannya sebagai ayah idaman. Lelaki itu tidak keberatan bangun tengah malam untuk mengganti popok putrinya. Arlo juga nyaris selalu menemani Jilly saat menyusui. Intinya, Arlo selalu hadir dan ikut aktif mengurus Zia.

"Aku beneran beruntung karena punya suami seperti kamu, Ar. Zia pun sama," puji Jilly. "Karena nggak semua suami mau ikutan repot ngurusin bayi. Kamu beda. Kamu bikin kerjaanku jadi jauh lebih ringan."

"Masa, sih? Memangnya bapak-bapak yang lain nggak ikutan ngurus anaknya?"

"Nggak tau juga, sih. Tapi umumnya banyak temanku yang ngeluh kalau suami mereka agak cuek soal anak. Mereka harus bekerja, pulangnya pun kudu ngurus anak. Sementara suaminya rata-rata nggak ambil bagian. Pulang dari kantor merasa capek dan lebih suka istirahat. Pernah ada yang ngaku kalau bisa berantem gara-gara anak mereka nangis dan suaminya malah kesal karena merasa terganggu."

"Padahal, mengurus anak bukan cuma kewajiban ibunya doang, tapi tanggung jawab bareng-bareng," cetus Arlo.

Jika ada banyak perempuan mengalami baby blues, Jilly sama sekali tidak merasakannya. Kehadiran Zia tidak memicu kesulitan yang membuat mood sang ibu memburuk. Jilly malah begitu menikmati tanggung jawab barunya. Mengurus bayi yang notabene bukan pekerjaan mudah, tidak membuat Jilly terlalu kesulitan.

Sayang, tidak ada yang abadi di dunia ini. Jilly sangat paham makna kata-kata itu ketika suatu pagi Arlo tidak bisa dibangunkan. Suaminya adalah pria sehat yang tak memiliki masalah kesehatan. Namun, tiba-tiba saja Arlo tak lagi membuka mata. Dunia Jilly pun menjadi gelap dalam sekejap. Tuhan hanya berkenan memberinya waktu selama dua tahun lebih untuk menikmati kebahagiaan sebagai istri Arlo.

Sejak Arlo berpulang, Lula berusaha membujuk Jilly untuk pindah ke rumah keluarga besar Rachman. Jilly memang terpaksa melepaskan rumah yang ditempatinya bersama Arlo, tapi untuk alasan yang disimpannya sendiri. Hanya Indy yang tahu masalah itu. Lalu, dia pindah ke rumah ibunya. Keputusan itu tampaknya tak memuaskan hati ibu mertuanya.

"Harusnya kamu pindah ke rumah Ibu dan Bapak, Jill. Bagaimanapun, kamu dan Zia tanggung jawab kami setelah Arlo nggak ada," ucap Lula di masa lalu. "Kalau kalian tinggal di rumah mamamu, bukannya bakalan menambah beban keluargamu, Jill?"

"Nggak, kok, Bu. Saya pindah ke sana cuma mikirin soal kepraktisannya. Kalau dari rumah Mama, perjalanan ke kantor malah lebih dekat dibanding dari rumah Ibu atau rumah kami yang lama," argumen Jilly.

Tentu saja itu bukan jawaban yang sepenuhnya jujur. Namun, Jilly juga tak mungkin menceritakan segalanya karena akan membuat Lula makin sedih. Ada hal tertentu yang harus ditanggung Jilly sendiri. Kendati begitu menyakitkan.

Prita yang duduk di sebelah Jilly tampaknya tahu jika iparnya sedang bergelut dengan masa lalu. Jilly tersentak saat Prita menyenggol bahunya dengan lembut, meretakkan lamunannya. Kembali pada kekinian, telinganya menangkap obrolan tentang Bram yang menghabiskan waktu selama tujuh tahun keliling Asia.

Jilly merasa bersalah saat dia mengembuskan napas lega karena mertuanya pamit pulang setelah puas bermain dengan Zia. Lula kembali mengingatkan agar dia meluangkan waktu jika Bram pulang. Seakan Jilly cukup penting untuk memberi perhatian pada ipar yang cuma dikenalnya sambil lalu. Namun, Jilly tak mengatakan apa-apa.

Sebenarnya, membayangkan bahwa dirinya akan bertemu dengan orang yang berwajah serupa Arlo sudah cukup menjadi modal untuk menciutkan nyali Jilly. Dia juga tidak mampu menebak seperti apa perasaannya kelak. Yang jelas, bukan tipe perasaan yang membahagiakan.

"Mertuamu kayaknya mau ngejodohin kamu sama yang namanya Bram itu, ya?" cetus Abel tanpa basa-basi. Kalimat itu diucapkannya setelah keluarga Rachman pulang.

"Hah?" Jilly melongo. Perempuan itu berhenti membereskan meja. Otaknya tidak bisa berpikir karena kata-kata mengejutkan adiknya. Abel yang sejak pulang menyibukkan diri dengan melakukan banyak hal, duduk di sofa yang tadi ditempati Prita. Wajahnya serius.

"Kamu beneran nggak paham atau cuma pura-pura? Mama tadi cerita soal saudara kembar Arlo yang bakalan balik ke sini."

"Itu nggak ada kaitannya sa—"

Abel terus bicara, "Aku juga sempat mendengar Bu Lula ngomongin anaknya dengan bangga. Untuk apa mertuamu ke sini dan malah ngebahas soal Bram? Isinya pujian semua, kan? Seakan berusaha membuatmu terkesan. Jadi, jangan kaget kalau nanti akan muncul usul supaya kalian menikah." Abel memandang wajah Jilly. "Ibu mertuamu ... eh ... mantan mertuamu berkali-kali menekankan soal Bram yang masih melajang."

Jilly menatap ke sekeliling, mencari bayangan Indy. Dia butuh bantuan dari ibunya untuk menjernihkan kepala adiknya. Akan tetapi, Indy tak terlihat. Mungkin ibunya berada di kamar atau sedang mandi.

Zia menarik ujung blus ibunya, meminta perhatian. Jilly harus berjongkok untuk meruahkan fokus pada putrinya. Anak itu menunjuk ke arah boneka beruangnya yang diletakkan Jilly di atas lemari setinggi dada orang dewasa. Setelah mengambilkan benda itu, Jilly kembali membalas tatapan Abel.

"Mereka tetap mertuaku, bukan mantan. Dan menurutku, kamu mikirnya kejauhan. Wajar mereka pengin aku ketemu Bram. Dia tetap aja iparku."

Abel dengan keras kepala malah menjawab, "Ibu mertuamu berharap kalian ngelakuin ... apa itu namanya? Menikah sama anggota keluarga dari pasangan yang udah meninggal? Tukar guling, ya?" Abel mengerutkan alis. "Eh ... kok malah terdengar aneh, ya?"

Jilly tergelak. Zia yang duduk di dekatnya memperhatikan ibunya dengan keseriusan yang menggelikan. Sementara Abel mengomel tidak jelas, merasa sang kakak terlalu menganggap sepele maksud kunjungan keluarga Rachman barusan.

"Nggak sekalian aja tukar tambah?" Jilly memeluk Zia yang mendadak menghambur ke pelukan ibunya. "Menurutku, pikiranmu itu terlalu maju beberapa generasi. Nggak akan ada hal-hal kayak gitu," Jilly membangkang.

Abel memandang kakaknya dengan sorot mata prihatin. "Kamu terlalu polos, Kak. Umur udah banyak, tapi pola pikir mirip kayak remaja. Cuma ngelihat hitam dan putih doang. Padahal, di luar sana ada abu-abu, merah, hijau."

"Kenapa jadi serius gini, sih?" Jilly mulai merasa tak nyaman.

"Seharusnya kamu bisa lebih waspada. Bukan curiga, tapi waspada," ulang Abel, seakan cemas kakaknya tidak akan mengerti. Jilly merespons kata-kata adiknya dengan tawa geli. Akan tetapi, Abel tersenyum pun tidak.

"Seharusnya Bu Lula nggak perlu ngedesak kamu supaya ketemu sama Bram setelah dia balik ke sini. Apa mantan mertuamu itu nggak bisa ngebayangin perasaanmu kayak apa saat nanti ketemu orang yang mirip almarhum Mas Arlo?"

Pertanyaan Abel itu tak dijawab oleh Jilly. Karena dia tak menemukan kalimat untuk meresponsnya.


Lagu : Memories (Maroon 5)

God Gave Me You [The Wattys 2022 Winner]Where stories live. Discover now