Wattpad Original
There are 14 more free parts

Strange Day [2]

24.3K 3.2K 58
                                    

Jilly berjalan cepat memasuki lift yang pintunya baru saja terbuka seraya menatap panik ke arah arlojinya. Meski dia tahu bahwa Hans selalu bertoleransi jika ada karyawan yang telat kurang dari lima belas menit, tetap saja rasanya tidak nyaman. Apalagi Jilly bukan orang yang sering terlambat. Dia mungkin bukan karyawati teladan, tapi Jilly berusaha bekerja semaksimal mungkin.

Di dalam lift hanya ada dua pegawai lain yang berkantor di lantai lima. Jilly mengangguk sopan sambil menekan angka dua. Lift seolah merayap turun dalam kecepatan slow motion. Begitu tiba di tempat tujuan, Jilly nyaris berlari keluar. Dia menuju Departemen Administrasi dan Keuangan, tempatnya bekerja. Ada lorong panjang yang memisahkan departemen itu dengan divisi keuangan dan akuntansi.

"Tumben kamu istirahat sampai sesiang ini." Seseorang menegurnya. Sebelum membalikkan tubuh pun Jilly tahu jika yang barusan bersuara adalah Hans, atasannya. Lelaki itu tersenyum tipis saat berhadapan dengan Jilly.

"Iya, Pak. Barusan saya keasyikan makan sampai lupa waktu." Jilly berdusta dengan perasaan bersalah yang membuatnya terbatuk. Dia agak terengah karena berjalan cepat usai meninggalkan lift. "Maaf, ya, Pak. Alasan saya memang nggak profesional banget."

Hans tersenyum miring, terlihat geli dengan kata-kata bawahannya. "Saya benar-benar iri dengan kamu, Jill. Hari ini saya cuma makan mi godog yang sama sekali nggak enak. Terlalu asin, mana rasanya nggak keruan. Saya kenyang karena banyak minum air."

Jilly menyeringai. "Mungkin lain kali kita bisa keliling nyari makanan enak. Standar saya lumayan tinggi, Pak. Nggak akan bikin kecewa," sesumbarnya.

Tawa pelan Hans menyusul sesaat kemudian. "Ide bagus. Nanti sekali-kali kita coba."

Hubungan lelaki itu dengan para bawahannya memang tergolong cair dan nyaris tidak berjarak. Hans mengenal orang-orang yang bekerja di departemennya dengan baik, termasuk pasangan atau keluarga mereka. Jilly tidak yakin ada atasan yang lebih baik dibanding lelaki itu. Setidaknya di perusahaan tempatnya bekerja.

"Selamat siang, Pak. Saya ada perlu sedikit. Apa Bapak punya waktu?" Seseorang menginterupsi.

Refleks, Jilly menoleh ke belakang setelah mendengar suara yang berat itu dan mendapati seorang pria jangkung berdiri beberapa langkah di belakangnya. Kenzo. Mendadak, jantung perempuan itu seolah diremas. Apakah Kenzo datang untuk mengajukan keluhan pada Hans karena Jilly sudah lancang mendatangi ruang kerjanya?

"Kamu tunggu saja di ruangan saya, Ken. Nanti saya menyusul," balas Hans ramah. Tanpa suara, Kenzo melewati Jilly dan langsung menuju tempat yang dimaksud. Lelaki itu bahkan tak menatapnya. Seolah mereka tak saling kenal. Padahal, belum sampai lima menit silam Jilly meninggalkan ruang kerja lelaki itu.

"Kenzo lagi pusing. Karena dia kesulitan nyari asisten baru setelah Hanna pindah. Kamu nggak tertarik jadi asistennya untuk sementara, Jill?" tanya Hans sambil lalu. Lelaki itu membaca secarik kertas yang ada di tangan kanannya. "Kenzo butuh orang yang cekatan dan tahan banting. Nggak jauh beda kayak kamu."

Jilly tersenyum mendengar komplimen dari bosnya. Hans bukan tipe atasan yang tabu memberi pujian jika kinerja bawahannya memuaskan. "Makasih, Pak. Tapi saya betah di sini."

"Jangan bilang kamu juga takut sama Kenzo. Dia baik, kok, cuma memang orangnya sering dianggap terlalu kaku. Padahal nggak. Aslinya dia disiplin." Hans yang beberapa sentimeter lebih pendek dibanding Jilly, mendadak mengangkat wajah. "Eh, iya. Saya baru ingat. Gimana urusan kalian tadi malam? Udah kelar?"

Jilly menjawab buru-buru, "Belum, Pak. Kayaknya Pak Kenzo lagi sibuk banget." Jilly terdiam dan menimbang-nimbang sesaat. "Pak, kalau boleh, saya pengin minta tolong."

"Minta tolong apa?" Hans tampak penasaran.

"Itu ... jangan sampai ada yang tau soal insiden mobil kami tadi malam," kata Jilly dengan perasaan tak nyaman. "Maaf, ya, Pak. Karena saya malah jadi nyusahin Bapak."

"Oh, itu! Tenang, saya orangnya jago menjaga rahasia," gurau Hans. Pria itu menunjuk ke arah ruangannya. "Saya tinggal dulu, ya? Hari ini ada banyak laporan dari Departemen Keuangan yang harus kamu cek."

"Siap, Pak!"

Meski selalu dianggap sebagai bos yang pengertian dan diidamkan banyak karyawan, Hans adalah atasan yang punya tuntutan tinggi. Lelaki itu membawahi beberapa departemen sekaligus. Departemen Personalia dan Umum, Departemen Keuangan, dan Departemen Akuntansi. Idealnya, divisi yang dipimpin Kenzo pun berkantor di lantai dua. Namun, entah kenapa malah menempati lantai empat.

Tugas utama Jilly adalah memeriksa semua laporan dari Bagian Kasir, salah satu divisi di Departemen Keuangan. Setiap hari ada setumpuk berkas yang harus ditelitinya sebelum diserahkan kepada Hans.

"Kamu tadi ke mana aja, sih? Kirain habis makan mau balik duluan ke sini. Nyatanya malah ngilang." Helen melebarkan mata keheranan.

Jilly menimbang-nimbang sejenak sebelum menjawab. "Aku sakit perut, Len. Jadinya lama di toilet. Gara-gara kebanyakan makan." Dia menarik kursi sebelum duduk.

"Kebanyakan makan? Kayaknya lebih banyak makan siangku, deh!"

"Siapa bilang? Tadi aku makan tahu isi sampai tiga, selain satu porsi nasi dan soto ayam," urai Jilly, tentunya terpaksa berdusta.

"Masa, sih?" Helen tampak tak percaya.

"Tadi kamu terlalu asyik mengobrol sama yang lain, nggak merhatiin kalau mulutku nggak berhenti memamah biak." Jilly tertawa. "Tolong, jangan ditiru."

Lalu, perempuan itu mulai sibuk bekerja. Matanya sempat berhenti di sebuah pigura. Foto yang terpajang di sana menampilkan senyum bahagia Jilly yang sedang menggendong Zia yang kala itu masih berusia tiga tahun. Dulu, dia memasang foto bertiga dengan Arlo di pigura itu. Namun kemudian diganti Jilly tak lama setelah suaminya berpulang.

Sengatan rasa perih itu masih terasa, meski tak setajam dulu. Tampaknya, Jilly belum sepenuhnya bisa steril dari kenyerian. Jilly sendiri tidak yakin jika lukanya bisa benar-benar pulih. Umurnya baru dua puluh delapan tahun, tapi sudah mengalami kepahitan separah ini.

Jilly menghela napas. Dia tidak ingin terjebak dalam kemuraman saat seharusnya fokus pada pekerjaan yang bertumpuk. Jilly buru-buru mengerahkan konsentrasinya pada pekerjaan yang harus ditangani.

"Kenzo itu cakep, suaranya berat dan seksi. Sayangnya, dia ngeselin. Paling nggak, menurut dua mantan asistennya. Jadi, cakepnya mubazir." Helen bersuara lagi.

Jilly mengangkat wajah dan mendapati Kenzo baru saja meninggalkan ruang kerja Hans. Lelaki itu berjalan dengan tatapan lurus ke arah pintu keluar. "Kamu udah mengulang-ulang komentar itu seribu kali," goda Jilly. "Eh, tapi Hanna nggak pernah komen negatif sebelum pindah. Malah selalu memuji-muji Kenzo," Jilly mengingatkan. Lalu, dia kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya.

"Jill, dipanggil Pak Hans, tuh!" Suara Helen terdengar lagi.

Jilly mendongak dan melihat bosnya berdiri di depan pintu dan memberi isyarat. Perempuan itu buru-buru menyusul Hans setelah bergumam pelan, "Doakan semoga Pak Hans ngasih kabar baik. Naik gaji, misalnya."

Nyatanya, Hans tidak menawarinya naik gaji. Melainkan memberi tawaran yang membuat Jilly terperenyak.


Lagu : Symphaty for The Devil (The Rolling Stones)

God Gave Me You [The Wattys 2022 Winner]Where stories live. Discover now