Wattpad Original
There are 9 more free parts

You're Not The One [1]

21.3K 3K 79
                                    

Kenzo memandangi kertas perjanjian berisi tulisan tangan Jilly yang rapi itu. Dia tak kuasa menahan senyum sekaligus perasaan takjub. Betapa sebuah insiden bisa berlanjut tanpa terduga. Saat ini dia tidak benar-benar yakin apakah insiden kemarin malam bisa disebut sepenuhnya musibah atau malah anugerah. Dia harus menunggu hingga Jilly bekerja padanya empat hari lagi. Setelah itu, barulah dia bisa memberi penilaian yang lebih objektif.

Namun, dari obrolan dengan Hans, Kenzo diyakinkan bahwa Jilly adalah pegawai yang kompeten. Rajin dan teliti. Meski soal "teliti" ini masih harus diperdebatkan. Kejadian kemarin malam justru menunjukkan bahwa perempuan itu ceroboh. Namun, Kenzo menyimpan opini itu untuk dirinya sendiri. Paling tidak, untuk sekarang ini.

Yang pasti, Kenzo mengetahui satu hal tentang Jilly. Bahwa perempuan itu berani. Dia yakin, Jilly akan mengajukan protes lebih banyak dibanding jumlah rintik hujan jika Kenzo dianggap sudah berlaku tidak adil. Dia masih ingat kata-kata perempuan itu tadi.

"Pak, saya nggak keberatan ditegur. Diomelin pun nggak apa-apa. Tapi harus ada alasannya. Entah karena kerjaan saya yang nggak becus atau saya bikin kesalahan fatal. Bukan karena Bapak lagi bete."

Setelah menempelkan meterai yang dibelikan oleh Ardy, Kenzo pun membubuhkan tanda tangannya tanpa ragu. Setelahnya, dia memotret kertas perjanjian itu, lalu dimasukkan dalam laci. Barulah kemudian pria itu kembali bekerja. Hari Senin, dia harus menyerahkan kertas itu pada Jilly sesuai janjinya tadi.

"Pak, maaf mengganggu. Bapak kedatangan tamu," lapor salah satu bawahan Kenzo, Ranti. Kenzo belum sempat merespons saat Karin melenggang masuk sambil menggumamkan terima kasih pada Ranti.

"Aku kebetulan ada urusan di dekat sini. Makanya sekalian mampir untuk ketemu kamu," ucap Karin sebelum ditanya. Perempuan itu menutup pintu, lalu berderap menuju meja yang ditempati Kenzo. Seperti biasa, Karin tampil cantik dan penuh percaya diri.

Lelaki itu menghela napas saat berdiri, tak tahu harus bicara apa. Kenzo yakin, Karin memang sengaja datang untuk menemuinya. Sepertinya perbincangan mereka dianggap belum tuntas oleh perempuan itu. Sementara bagi pria itu, semua sudah selesai. Tak ada lagi yang perlu mereka diskusikan jika berkaitan dengan masa depan hubungan keduanya.

Saat itu Kenzo berjanji pada diri sendiri untuk menghubungi pihak resepsionis sesegera mungkin. Agar di masa depan, Karin tak bisa lagi datang seenaknya ke ruangannya. Karena biasanya tamu-tamu para pegawai PT Adiraja Ekanusa hanya akan diminta menunggu di lobi, kecuali keluarga atau pasangan. Selama ini, tentu saja Karin terhitung sebagai pasangan Kenzo yang bisa datang ke lantai empat dengan leluasa.

"Tadinya aku mau mengajakmu makan siang, tapi nggak keburu." Karin menghampiri Kenzo dan berjinjit untuk mencium bibir lelaki itu. Namun, Kenzo mundur selangkah sehingga kecupan Karin hanya menyentuh udara. Mereka sudah tak sepantasnya berbagi keintiman semacam itu, kan? Karin sudah kehilangan hak untuk mengecup bibir Kenzo.

"Silakan duduk, Rin," pinta Kenzo sembari menunjuk kursi kosong di depannya. "Kamu ada perlu sama aku?" tanyanya tanpa basa-basi. Di depan Kenzo, Karin merengut.

"Kamu kenapa jadi jutek, sih? Memangnya aku nggak boleh datang ke kantor pacarku?" Dia balik bertanya. Karin menuruti saran Kenzo dan duduk di kursi.

"Kamu bukan pacarku lagi. Tadi malam semua udah selesai," sahut Kenzo dengan nada disabar-sabarkan. Pria itu kembali menempati kursinya. Dia menggeser letak laptop. Sebelum Karin merespons, lelaki itu kembali membuka mulut.

"Kalau nggak ada hal yang mendesak, aku terpaksa minta kamu untuk segera pulang. Jangan lama-lama di sini. Bukan apa-apa, kerjaanku sedang numpuk dan aku nggak punya asisten," ucap Kenzo terus terang. "Aku benar-benar sibuk."

Kata-katanya memberi efek berupa warna merah pada wajah Karin. Entah marah atau malu. Kenzo tak mau ambil pusing. Dia malah duduk bersandar dengan perasaan aneh yang menjalari dadanya. Ah, betapa perasaan manusia begitu mudah berbalik dan berubah. Kenzo pun tak tahu jika peristiwa tadi malam bisa memberi efek yang begitu besar pada hatinya.

Baru kemarin dia melamar Karin, yakin bahwa dirinya jatuh cinta luar biasa pada perempuan itu. Kenzo juga optimis bahwa dia menginginkan Karin menjadi pasangan hidup yang hanya dipisahkan oleh kematian. Dia siap membangun kehidupan baru bersama Karin.

Kini, tak sampai dua puluh jam kemudian, semuanya berubah drastis. Ke mana semua perasaan yang selama ini mengendap di dada Kenzo? Walau dia masih merasai sembilu karena penolakan Karin, tapi tak seberat yang dikira Kenzo. Apakah kedua saudara perempuannya benar, bahwa Kenzo tak bisa jatuh cinta? Karena dia terlalu mencintai diri sendiri?

"Kita belum selesai, Ken. Masih jauh dari itu," respons Karin dengan suara datar. "Aku tetap optimis, kita bisa nyari jalan tengah yang bikin aku dan kamu hepi. Kamu nggak boleh terlalu cepat mengambil keputusan. Gimanapun, kita tetap butuh berkompromi. Dan aku yakin ada opsi yang akan bikin kamu dan aku merasa nyaman." Suara Karin dipenuhi keyakinan. Namun, Kenzo sama sekali tak terkesan.

"Kita udah selesai. Nggak ada yang namanya jalan tengah, Rin," tukas Kenzo dengan suara jelas. "Lagian, aku nggak mau buang-buang waktu untuk melakukan beberapa 'percobaan' sampai kita ketemu opsi yang kamu maksud." Kenzo membuat tanda petik di udara. "Kita pisah, kamu dan aku dibebaskan untuk memilih jalan masing-masing."

Karin malah menggeleng dengan keras kepala. "Kenapa malah dianggap percobaan?"

Kenzo benar-benar merasa jemu. Dia tak membutuhkan tambahan drama dari Karin. Mereka sudah jelas-jelas berada di dua titik yang saling bertolak belakang. Takkan ada jalan keluar atau kompromi untuk mereka berdua. Perbedaan prinsip itu terlalu kontras dan tak mungkin bisa dijembatani.

"Aku nggak akan mengulang-ulang ini karena jadinya akan ngebosenin banget. Kamu cukup kenal aku, kan? Aku bukan orang yang gampang berubah pikiran. Begitu juga saat ngambil keputusan, terutama yang tergolong penting. Aku udah mempertimbangkannya dengan matang. Ini soal prinsip yang nggak bisa ditawar-tawar, Rin."

Karin memajukan tubuh. Tatapannya terarah ke mata Kenzo, rahangnya terlihat menegang. "Kamu benar-benar marah karena aku belum siap nikah, ya, Ken?"

Kenzo menggeleng. Lelaki itu tersenyum tipis. "Aku nggak marah, apalagi karena soal itu. Aku nggak bisa maksa kamu untuk setuju jadi istriku, Rin. Aku cuma nggak mau buang-buang waktu. Karena kamu nggak berminat untuk menikah dan lebih suka tinggal serumah aja, itu jalan buntu. Jadi, nggak ada gunanya kita tetap bareng-bareng."


Lagu : Save Your Tears (The Weeknd)

God Gave Me You [The Wattys 2022 Winner]Where stories live. Discover now