8. Misterius

5.1K 1.2K 292
                                    

"Ciye elaaaah, sehari gak sekolah, udah pada bawa motor new aja."

"Lagi ngepantun lo?"

"Hahaha, enggak, lagi salto."

El yang motornya dicegat tiba-tiba oleh mobil yang memalang di depan kini mendengus. Mau marah juga susah wong pelakunya si Samuel.

"Bahaya Samuel. Jangan kaya gini lagi," Al memperingati. Kalau saja El yang bilang begitu, pasti Samuel akan membalasnya dengan sewot. Namun karena Al yang bilang, Samuel hanya bisa bilang, "Hehe iya, maap."

Al menutup kaca helm nya kembali lalu motornya memutari mobil yang Samuel bawa untuk menuju parkiran sekolah.

"Mamam lo dimarahin Al," cibir El, yang juga ikut memutari mobil Samuel dan menuju parkiran. Samuel menyusul memarkirkan mobilnya dan bergabung bersama kedua orang itu menuju kelas.

Sepertinya benar kata Alex, Al itu macam emak mereka. Kalau udah dia yang sewot, gak ada yang berani jawab. Takut durhaka.

"Woy, bros."

"He?" Samuel dan El sama-sama menunjukkan raut bingung. Sebelah alis dan bibirnya terangkat. Mereka kadang memang kompak. Padahal kembaran El adalah Al. Tapi Samuel malah lebih cocok jadi kembarannya.

"Ngomong apa lo barusan?" tanya Samuel pada Alan yang sepertinya barusan menyapa mereka. "Bros?" lanjutnya takut salah dengar. "Artinya apaan?"

"Walah, masa gak tau. Bro kan kependekan dari brother. Huruf S jadi kata jamak di bahasa inggris kalau penyebutannya lebih dari satu. Kalian kan ada bertiga. Jadi dari bro, gue tambahin S, jadi Bros."

"Woanjir, gak gitu konsepnyaaa!" Samuel si bule asli betawi gak terima.

"Sam!" Namun El juga gak terima dengan selipan kata kasar yang Samuel ucapkan barusan.

Sementara Alan hanya tertawa. Al sendiri sudah melengos pergi dan berjalan duluan hendak menuju kelas.

"Keceplosan, hehe."

***

Sebagai ketua kelas, Alex diminta untuk menemani Alan mengambil buku-buku pelajaran kelas mereka di ruang tata usaha. Untungnya mereka juga sudah berteman sejak hari pertama sekolah. Jadi tidak canggung bagi Alan untuk meminta bantuannya. Karena Alan sendiri masih tidak tahu dimana letak-letak ruangan di sekolah barunya ini.

Setelah selesai, mereka hendak kembali ke kelas dulu untuk menaruh buku-buku tersebut di dalam loker. Alex ikut membantu membawakan bukunya karena memang buku paket tebal itu cukup banyak dan berat. Namun di perjalanan pada koridor yang dekat lapangan, terdapat para siswa masih bermain padahal sudah waktunya itirahat.

Sepertinya, El yang melihat mereka bermain jadi gatal ingin ikut bergabung. Jadilah Alan kini melihat laki-laki itu ada di lapangan bersama siswa lainnya yang masih memakai seragam olahraga. Mereka sedang bermain futsal.

"El gak punya pacar?"

"Kenapa lo tiba-tiba tanya itu?" tanya Alex heran.

Namun pertanyaan Alan tentu saja berdasar. "Dia kapten basket. Sering tampil di lapangan, kaya sekarang. Mukanya ganteng, tingginya oke, kendaraannya bagus, duitnya kenceng. Masih tanya kenapa gue nanya begitu?"

"Gue kira lo naksir dia."

"Hidih."

Alex terkekeh. Kembali ke pertanyaan Alan tadi.

"Gak punya."

"Wow, pasti cewek di sini pada gak punya selera tinggi. Biasanya cowok modelan El, pacarnya banyak atau minimal gonti-ganti. Kapten basket di sekolah gue dulu, tiap olahraga yang bawain minum ceweknya beda."

Different (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang