Dream21: Jatuh

18 9 0
                                    

Naomi tidak tahu apakah separuh berhasil itu lebih terasa baik untuknya ketimbang sepenuhnya gagal.

Ya, mungkin saja separuh berhasil itu memang lebih baik.

Andaikan separuh keberhasilannya itu tidak bergantung pada orang lain. Tidak menumpang pada orang lain. Tidak mencari-cari alasan demi mempertahankan fakta dirinya cukup berhasil itu dengan mendeklarasikan diri sukarela dimaanfaatkan orang lain.

Dan karena semua tidak itu justru adalah yang dilakukannya, maka Naomi tak bisa lagi merasa separuh berhasil itu lebih baik dari sepenuhnya gagal.

Terbebani perasaan itu, Naomi melangkah diam dalam malam.

***

Satu lagi sayatan mengukir batang pohon itu. Mata tombak yang menjadi penyebabnya ditarik kembali dalam sekali sentak oleh pemiliknya, menebas angin malam dengan ayunan berputar untuk digenggamnya kembali dalam kuda-kuda awal. Selama beberapa detik sang pemain tombak menahan gesturnya itu, sebelum akhirnya meloloskan helaan napas, mengendurkan kuda-kudanya.

Menengadah pada pucuk pepohonan tepian hutan yang mengisi halaman belakang rumahnya, pikiran Schatten mulai melayang-layang. Terutama pada latar pagi tadi; apakah ucapannya pada Naomi saat itu ketertaluan? Tidak seharusnyakah ia berucap kasar? Tapi, Schatten rasa kepalanya sudah ia dinginkan semalaman—ah, benar juga, saat menangkap siluet Naomi di Akademi pagi tadi, kepalanya serasa pecah lepas kendali dari dinginnya. Kalau dibilang lepas kendali juga tidak tepat, sih—Schatten tidak akan kelepasan membentak kalau bukan Naomi yang menantang duluan,

Bukannya itu sama saja lepas kendali, ya?

"Cih." Disentakkannya tombak, mengukir sayatan horizontal panjang di batang pohon sekali lagi—berharap sayatan yang diukirnya kali ini bisa melepaskan kekesalannya.

Mendadak, selintas getaran mengetuk benaknya. Schatten segera mengabaikan kekesalannya dan beralih fokus untuk mendengarkan getaran yang dihapalnya sebagai sebuah jalinan magis—dari katalisnya.

Apa yang Schatten dengar kemudian membuatnya berlari menuju satu tempat seketika. Dengan degup panik menjadi pacuan langkahnya, satu-satunya harapan menggema seiring deru napasnya.

Sial, semoga masih belum terlambat—!

***

"Indahnya...."

Hembusan angin mengantarkan gumam kagum Naomi yang mendongak kepada langit malam. Berdiam di atap Akademi memanglah hal yang sudah biasa Naomi lakukan. Tetapi, seorang diri merenung bisu ke dalam hati—ini adalah kali pertama Naomi melakukannya.

Biasanya, dengan senang hati Naomi akan menumpahkan apa saja yang ingin dikatakannya—membayangkan langit malam sebagai sang pendengar sudah cukup melegakan hati gadis itu.

Tetapi tidak untuk kali ini. Mungkin sepertinya, alih-alih perasaan untuk mendorongnya bercerita pada seseorang, kini Naomi hanya mendamba perasaan untuk terbang ke langit malam di antara bentangan jemari tangannya.

Apakah Bintang Kejora membenciku...?

Atau memang hanya mimpiku saja yang cuma bisa bergantung pada mimpi Schatten?

"Sebenarnya, mimpi itu apa, sih?" bisik lirih Naomi, entah bertanya kepada siapa. Langit malam hanya pendengar, bukan penjawab.

"Wah, Naomi!"

Suara itu.

Naomi sontak menoleh ke belakang, ke sumber suara dari pintu atap itu.

Lambaian tangan riang Maki, Clay dan Rica pun langsung menjawab tolehannya.

The Dreamless Landजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें