Dream20: Gagal

20 9 0
                                    

Kebas.

Bahkan sampai terbawa di kedua sisi tubuhnya yang ia rebahkan—berusaha menahan diri untuk membanting tubuh bersuara ribut—kedua tangan Naomi tetap terasa kebas.

Terutama bagian kedua telapak tangannya.

Masih terjejak jelas, tekstur kristal katalis Schatten yang digenggamnya erat dalam tautan tangan. Sensasi yang mempermainkannya dalam rasa sejuk dan hangat di waktu yang bersamaan, sebelum kenyataan menamparkannya akan kegagalan yang terpampang di telapak tangannya.

Tidak ada katalis selain milik Schatten dalam genggaman tangannya.

Tidak ada katalis untuk Naomi.

Naomi gagal.

Padahal, Schatten tetap berwajah tenang. Tak ada riak emosi tersurat selain selintas keterkejutan di kedua matanya kala turut melihat telapak tangan Naomi yang terbuka. Tak ada juga kata-kata berkonotasi negatif yang diutarakannya. Hanya satu tepukan ringan di puncak kepala Naomi selagi tangan satunya mengambil kembali katalis miliknya dari tangan Naomi.

"Tidak apa, ini bukan salahmu atau apa sama sekali. Terkadang, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Juga, hasil apa yang benar-benar terbaik untuk kita dapatkan."

Itu kata Schatten. Dengan tenangnya. Menuntun Naomi menggenggam lenteranya kembali, meniti ulang jalan setapak yang mereka lalui untuk kembali ke pemukiman. Kali ini, tanpa mendesak dengan kesal Naomi untuk tidak melangkah selamban siput. Kali ini, membiarkan Naomi melangkah dalam bisu yang nyaris membuatnya tersandung akar-akar pohon beberapa kali, dan hanya membantu Naomi kembali berdiri tanpa omelan setiap kali itu pula.

Gagal.

Gagal.

"Naomi? Kau tidak apa-apa, 'kan?" tanya Schatten setelah mereka melewati batas hutan, menjejak kembali jalanan kota dan mengendap sepelan mungkin di antara benderang lampu-lampu jalan.

Di depan belokan jalan menuju rumahnya—di sinilah mereka berpisah. Naomi mengangkat wajahnya, tersenyum lebar dengan riang. "Tentu saja! Mungkin aku memang tidak bisa memanggil katalis untukku sendiri, tapi, aku bisa mencoba cara lain untuk membantumu, 'kan, Schatten? Dah, ya, selamat malam!"

Begitu berbalik dan melangkah menuju rumahnya, sehingga Schatten tidak lagi bisa melihat wajah Naomi, senyum gadis itu seketika lenyap. Tergantikan ekspreksi hampa yang menggelap bisu menahan luka, sembari mengulum bibirnya dalam-dalam. Tidak sakit sama sekali—bagi gadis itu, semuanya seakan hanyalah palsu.

Selain kegagalannya.

Selain kegagalannya.

***

Seperti biasa, Schatten bisa dengan mudah masuk ke kamarnya lewat jendela yang tak pernah repot diperbaharui jenis kunci selotnya oleh sang ayah. Tanpa tanggung lagi menahan beban yang membuat sekujur badannya terasa berat sedari tadi, anak lelaki itu segera membanting tubuh ke atas kasurnya. Peduli apa gedebuk suaranya sangat keras—toh, ayahnya sendiri pasti ada di salah satu bar malam-malam begini. Menenggak botol-botol alkohol dengan tawa terbahak bersama teman-temannya, membuai diri mereka sendiri lebih dalam terjerat kutukan.

Dengan menengahkan kepalanya yang bersandar bantal pada langit-langit, Schatten menjuntaikan katalis di atas wajahnya untuk diamati kedua matanya yang menerawang. Langit-langit kamarnya gelap, lentera kamarnya ia jauhkan di ujung meja. Dalam benak, ia mengingat kembali apa yang terjadi di ritual tadi.

Schatten tidak menyangka berkas cahaya serupa magis itu akan benar-benar muncul—dan bagai kabut, melayang-layang mengitari Naomi dalam satu lingkaran penuh. Butir-butir berkelip indah bak kunang-kunang juga muncul tertabur, benar-benar hal ajaib seperti ekspetasi Naomi yang dibacanya di wajah gadis itu sebelumnya.

The Dreamless LandWhere stories live. Discover now