Dream08: Mencoba

30 14 1
                                    

"Oh, ya, kenapa bisa kau memecahkan kaca jendela Akademi, Naomi?"

Mendengar pertanyaan yang mendadak ditujukan padanya terlalu lempeng itu, Naomi nyaris tersedak krim vreces vanila yang tengah dikulumnya dalam mulut. Cepat-cepat ia membawa krim separuh padat yang lembut di mulutnya untuk tertelan masuk bersama sepotong selimut vreces yang digigitnya. "Um, hehe, tidak kenapa-napa, kok. Anggap saja kecelakaan tidak terduga." Naomi menyahut asal—sebab ia lupa mengantisipasi bagaimanakah seharusnya menjawab pertanyaan itu dari sahabatnya.

Meski mengangkat alis dengan heran, Clay tampaknya tidak berminat menaruh curiga. "Hmm, kalau cuma kecelakaan, bukannya kau tidak perlu dihukum, Naomi?"

Rica menimpali dengan anggukan, "Sepertinya terlalu berlebihan kalau kau disuruh membereskan semuanya sendirian, deh."

Naomi meringis salah tingkah, "Yah, kecelakaan atau bukan, aku sudah menyebabkan masalah. Oh, aku juga tidak sendirian, kok—ada Schatten juga yang dihukum gara-gara terseret ulahku,"

"Schatten—?!"

Uh-oh, apa itu termasuk ranjau yang seharusnya tidak kukatakan? Batin Naomi merutuki mulutnya yang lempang, tapi setidaknya, aku tetap menempatkan diri sebagai biangnya, jadi tidak apa, 'kan?

"Bagaimana bisa Schatten ikut memecahkan jendela bersamamu?!"

"Naomi, kau yakin kau bakal tidak kenapa-napa?"

"Schatten itu anak yang aneh dan menyeramkan, lho!"

"Te-tenang saja! Schatten itu tidak seaneh yang kalian pikirkan, kok! Dia bisa diandalkan dalam bekerja sama di hukuman, lagipula ... salahkulah yang membuatnya ikut-ikutan dihukum." Sedikit menambahkan bumbu, Naomi mencoba mengangkat nama baik Schatten di mata ketiga sahabatnya—meski argumen terakhir Clay tadi disetujuinya sepenuh hati.

Rica dan Clay saling melempar pandang, dan Maki mengedikkan bahu. "Yah ... bagaimanapun juga, kami tidak bisa melepasmu tanpa cemas begitu saja dengannya, Naomi."

Di sinilah Naomi tiba-tiba tersadar. Secara ironis, bahkan sekedar dalam lingkaran persepsi ketiga sahabatnya, Schatten-lah yang dipandang sebagai yang terkutuk—seorang terkucil yang dijauhi. Padahal, kenyataannya adalah sebaliknya.

Dan hal itu mengingatkan Naomi pada tujuan awalnya menyempatkan waktu—yang sudah repot-repot diperpadat Schatten—untuk berbincang dengan sahabat-sahabatnya—yang sudah sengaja dijauhkan Schatten—kini.

"Silakan saja," Jawaban Schatten tempo hari melintas dalam benak Naomi yang tenggelam dalam pergolakan tekad, "Kau tadi bilang 'sesuatu yang ingin kucoba lakukan', bukan? Dengan itu, kau pasti tahu bahwa kau cuma bisa mencoba, yang sama saja dengan pertaruhan berhasil-gagal. Yah, untuk ini, aku tidak mau menjatuhkan semangatmu, kok. Cobalah."

"Tenang saja, tenang saja!" kekeh Naomi memecah suasana dengan nada riang, "Aku akan berusaha menyelesaikan hukumanku sebaik-baiknya, kok. Oh, iya, daripada itu...,"

Cobalah.

"...kalian tahu tentang mimpi, tidak?"

Seketika, ketiga sahabatnya terdiam. Masing-masing tatapan mereka tertuju kepada Naomi yang mempertahankan senyumnya berlagak natural—seperti membawakan topik yang biasa saja mereka obrolkan bersama. Padahal di balik senyum itu, Naomi hampir mati karena jantungnya berdegup harap-harap cemas. Ya, inilah 'sesuatu' yang ingin Naomi coba lakukan; memancing ketiga sahabatnya mengenai mimpi—sama seperti Schatten lakukan saat ia memergokinya di atap. Jika karena Schatten mengucapkan kata 'mimpi' itu Naomi bisa berontak dari arus kutukan, bukankah kalau begitu sahabat-sahabatnya juga punya kesempatan yang sama untuk melawan arus kutukan?

The Dreamless LandWhere stories live. Discover now