Dream18: Prediksi Langkah Hitam

24 9 1
                                    

Selami dirimu sendiri, dan sadarilah apa mimpimu.

Naomi paham apa maksud Schatten. Ini seperti ketika dirinya sudah selesai membaca sebuah buku dan diminta membuat kesimpulan versinya sendiri dari buku itu. Membaca buku dalam keadaannya kini adalah seminggu mempelajari mimpi secara intensif bersama Schatten, dan bagian membuat kesimpulan-nya adalah menemukan mimpinya sendiri.

Saat memikirkan perumpaannya sendiri itu, sempat-sempatnya benak Naomi merindukan benda bernama buku itu. Duh, bukan itu!

Gadis itu berguling mengalihkan posisi merebahnya di atas ranjang. Tirai jendela yang masih disibaknya terbuka tidak mendapat sudut yang cukup untuk meneruskan pandangan Naomi mencapai langit malam. Malam ini, Naomi memang bertekad untuk tidur normal di kamarnya—tanpa menyelinap ke atap Akademi. Demi memusatkan fokus menyelami dirinya sendiri—seperti kata Schatten—untuk menemukan mimpinya.

"Mimpi, ya....." Naomi bergumam, menerawang pada langit-langit kamarnya. Kali ini, angannya sempat terbang berandai-andai kalau saja langit-langit kamarnya berlubang, sehingga Naomi bisa melihat langsung langit malam sebelum tidur.

"Argh, bukan itu! Fokuslah, diriku!" Naomi mencengrkam kesal bantalnya dengan jari-jari gemas ingin merobeknya. "Oke, jadi—apa mimpiku...?"

Mimpi itu adalah sesuatu yang selalu beterbangan di mana-mana, tetapi tidak semuanya mau diperjuangkan manusia.

"Kalau begitu, apa mimpiku juga sedang beterbangan di sekitarku selama ini...?"

Sadarilah apa mimpimu.

Sepasang mata Naomi melebar. "Ah, benar juga—Schatten bilang sadarilah, bukan carilah. Berarti ... aku hanya perlu menyadari mimpiku, 'kan?"

Pelan-pelan, Naomi merilekskan pikirannya dan memejamkan mata. Menatap kegelapan yang tenang menggantikan langit-langit kamarnya, gadis itu berusaha memanggil apa pun dalam hatinya, untuk memberinya petunjuk, hei, diriku, apa sebenarnya mimpi yang tersimpan dalam hatimu?

Mimpi—impian—adalah tujuan terbebas manusia yang diinginkan sebagai pencapaian dalam hidupnya. Bisa juga merupakan pemadatan dari harapan, kekaguman, atau faktor-faktor pemicu lainnya.

Harapan? Naomi ingin Kota Farbelwin terbebas dari kutukan penghapus mimpi Bintang Hitam—bukanya itu sudah jelas?

Kekaguman? Naomi mengagumi langit malam—mungkin lebih tepatnya sangat menyukai.

Faktor-faktor pendukung lainnya? Selama ini, Naomi selalu bersama Schatten, didukung oleh Schatten satu-satunya di kota yang sinting ini, dan rasa-rasanya semuanya bersangkutan dengan seorang Schatten Adlein.

Aku ingin Farbelwin terbebas dari kutukan. Agar semua orang bisa tertawa dan tersenyum bukan di atas kepalsuan lagi. Agar mereka semua bisa mendekap erat-erat mimpi masing-masing untuk diwujudkan.

Namun, sisi lain dari hati Naomi meragukan kesimpulan batinnya.

Apakah benar, itulah mimpiku...?

***

Pagi tiba dengan cepat. Waktu bergulir memaksa Naomi menggerakkan diri untuk bangkit dan bersiap menyandang tas kainnya—yang sangat ringan—dan berseragam Akademi, pamit pada orangtuanya dan bertemu trio sahabatnya—Maki, Rica, Clay—di gerbang Akademi, untuk berjalan sembari menyimak obrolan ringan bersama ketiganya.

Ya—Naomi hanya menyimak saja dan menyelingi dengan tawa ringan, sebab pikirannya masih sibuk berputar-putar pada fokusnya sendiri. Memangnya apa jika bukan tentang mimpinya? Bukan maksud Naomi menjadikannya beban pikiran, tetapi karena itu adalah pesan—yang dianggap Naomi lebih cocok sebagai perintah—Schatten tempo hari, maka seharusnya hari inilah Schatten menagih tugasnya itu.

Dan Naomi belum mempersiapkan jawaban apa-apa. Dan alasan apa pun tak akan mempan pada seorang Schatten.

Tidak bolehkah Naomi merasa wajar panas-dingin karena itu?

"Naomi."

Mendadak—suara itu. Satu-satunya yang terdengar bagai sambaran petir kegelapan bagaimanapun juga di telinga Naomi, kini seolah menjawab mimpi buruknya.

Gadis yang merasa namanya terpanggil itu mendongak, untuk menemukan iris delima di gurat wajah seorang anak lelaki yang sudah diduganya. Detik itu juga, bahkan sebelum Naomi dapat memadatkan suara untuk menjawab, sebuah tarikan sudah merenggut tangannya. Tanpa basa-basi, hingga Maki dan Clay yang hampir memulai perdebatannya dan Rica yang bersiap melerai sepagi ini tidak sempat bereaksi apa-apa selain tetap mematung.

"Ikut aku." Schatten melanjutkan dengan intonasi paling serius yang Naomi ingat. Bahkan meskipun anak lelaki itu tidak menatapnya langsung karena tampaknya tidak membutuhkan sahutan, Naomi mulai menerka-nerka apa gerangan yang membuat Schatten mencegatnya langsung di depan ketiga sahabatnya tanpa basa-basi.

Maka, Naomi tidak melawan. Hanya berusaha menyesuaikan langkahnya dengan langkah bergegas Schatten, yang baru berhenti ketika mereka sampai di lantai paling atas, di lorong ujung dekat pintu menuju atap.

"Ada apa, Schatten?" Naomi mengeluarkan pertanyaan yang diganjalnya sedari tadi. Kini, berhadapan lurus dengan anak lelaki yang piawai memainkan tombak itu, Naomi bisa melihat gurat keseriusan yang tercetak jelas baik di wajah maupun gesturnya yang melipat lengan di dada, bersandar dinding lorong.

"Pertama-tama, karena sesuatu yang hendak kusampaikan ini sangat serius, tolong jangan memotong sampai aku benar-benar selesai," ucap Schatten dengan suara rendah.

Tak membutuhkan penegasan lebih, Naomi mengangguk patuh.

"Bintang Hitam akan mengambil langkah dalam waktu dekat—untuk memanen Farbelwin."

Naomi tercekat. Jantungnya serasa terhenti sesaat.

"Bintang Kejora yang memberitahuku lewat katalis. Artinya, iblis itu akan segera mematenkan kutukannya—mempercepat tahap yang akan membuat seorang manusia tidak akan menjadi manusia lagi selain seperti mayat hidup. Tahap yang juga akan menghapus semua kedok kepalsuan yang membuai Farbelwin, membukakan periode kesengsaraan yang sesungguhnya."

"Menghapus semua kedok kepalsuan ... maksudnya, semua tawa, senyum,dan kebahagiaan itu—akan direnggut?" sela Naomi tidak percaya. "Bahkan semua itu cuma kepalsuan, 'kan?"

"Farbelwin akan jatuh menuju kehancuran dalam waktu singkat jika periode itu benar-benar terbuka. Semua jiwa penduduk kota ini yang telah kehilangan mimpinya akan diserap Bintang Hitam lewat kutukannya. Ya. Tak akan ada lagi tawa dan senyum yang bahkan sekedar kepalsuan itu." Schatten melanjutkan, nada suaranya dingin bagaikan es yang turut membekukan hawa pembicaraan.

Naomi merasa seolah lantai yang dipijaknya kini goyah, atau hanya kakinya saja yang terhuyung goyah karena kepalanya serasa disedot kehampaan mendadak. Entahlah. Gadis itu tidak tahu mana yang benar. Apa pun itu, jangan kehancuran Farbelwin. Jangan langkah baru iblis itu. Jangan akhir dari dirinya dan semuanya.

"Karena itu, Naomi, kita juga akan mengambil langkah."

Suara Schatten berikutnya menjadi akhir mimpi buruk kehampaan Naomi. Pijakan kesadaran didapatkan gadis itu kembali, menyambut secercah harapan yang ia tekadkan akan diwujudkannya seiring mendongakkan wajah.

Schatten tidak menunggu Naomi mengutarakan desakan untuk menyambung ucapannya.

"Bersiaplah malam ini juga. Pertama, aku akan membantumu mendapatkan katalis Bintang Kejora." []


<><><><><>

Thanks for read,

A/Z.

The Dreamless LandМесто, где живут истории. Откройте их для себя