Dream17: Fase Kertas

22 9 0
                                    

Selama seminggu menghindari suasana, kini tibalah hari ketika suasana itu sudah saatnya untuk dihadapi kembali.

"Pagi, Naomi!"

Dimulai dari sapaan bersama rengkuhan hangat sebelah lengan itu, hari Naomi kembali.

Naomi tersenyum. "Pagi juga, Maki. Hei—berat, tahu."

Maki terkekeh, justru semakin mengeratkan lengannya merengkuh Naomi—untung saja Clay dan Rica muncul menyusul kemudian, sehingga napas Naomi tidak sampai habis tercekik.

"Lebih enak masuk Akademi atau tidak?" celetuk Rica dengan suaranya yang halus.

Clay mengernyit dalam-dalam, berpikir keras. "Hmmm ... kalau masuk Akademi enak, sih, kita lebih sering bersama—tapi bangun paginya yang malas. Kalau tidak masuk, paginya santai, tapi aku susah menemukan kalian."

"Tidak masuk Akademi!" jawab Maki riang, "Aku bisa bantu bagi-bagi manisan di alun-alun! Soalnya, kalau begitu nanti aku dapat jatah juga, sih, hehe."

"Huuuu, nanti kau gendut, lho," ledek Clay.

Maki menyengir, menepuk puncak kepala Clay dengan telapak tangan. "Setidaknya aku tidak pendek sepertimu."

Dan dimulailah kembali adegan Clay mengejar-ngejar Maki dengan segunung kekesalan yang siap dilampiaskan dengan seribu cubitan jika berhasil menangkap sahabatnya yang paling senang mengomentari tinggi badannya itu.

Naomi menonton saja ketika dua sahabatnya yang cocok diumpamakan kucing dan anjing itu mulai melupakannya dan Rica—yang tertinggal dari langkah kilat kejar-kejaran mereka.

Rica yang menyadari nasibnya sama dengan Naomi, melempar senyum simpul. "Pagi-pagi begini, mereka sudah bersemangat sekali, ya?"

"Haha, saking cerianya sampai kita dilupakan," desah Naomi geli, menimpali. Mendadak, gadis itu teringat sesuatu, yang membuatnya segera mempercepat langkah menuju kelasnya.

"Eh, Naomi, kenapa?" Rica lekas menyusul begitu menyadari langkah sahabatnya menjadi bergegas.

"A-ah, daripada ditinggal begini, bukankah lebih seru kalau kita menonton pertengkaran kucing dan anjing tadi?" sahut Naomi setengah mengarang, lantas menderap masuk kelas. Tidak sesuai dengan alasan yang dikatakannya pada Rica, Naomi mengabaikan keributan seruan melengking yang saling sahut di belakang kelas—yang dari suaranya saja sudah jelas siapa yang ribut—dan langsung mendudukkan diri ke bangkunya yang terletak di ujung terjauh dari pintu, baris paling depan.

Lebih tepatnya, duduk bukanlah niat utama Naomi. Sebelah tangan gadis itu langsung merogoh laci mejanya dalam-dalam, dan merasakan sebuah tekstur halus yang segera ditariknya hati-hati.

Secarik kertas yang dilipat dua. Berisi tulisan tinta singkat dalam lipatannya. Yang segera disambunyikan Naomi ke dalam sakunya cukup sekilas membaca tulisannya dengan lagak tak ada apa-apa, ketika Rica datang.

'Jangan lupa dengan tugasmu.'

Itulah metode baru yang dicetuskan Schatten—kertas pesan di laci. Karena agak berisiko menuliskan informasi penting atau semacamnya di kertas yang mudah diambil siapapun, Schatten menekankan bahwa kertas pesan itu hanya boleh diisi kalimat singkat untuk dibawa ke pembicaraan nanti.

Selama seminggu, mereka bukannya hanya jadi anak baik yang niat melakukan hukuman, lho.

"Naomi, kurasa, ini sudah saatnya mereka dilerai, deh."

***

Sore itu, di sebuah lorong lantai tiga Akademi. Selepas target pekerjaan yang ditentukan Schatten hari itu—membereskan seluruh jendela sisi lorong lantai tiga—selesai, Schatten membuka pembicaraan di tengah istirahat mereka duduk berselonjor kaki.

"Satu-satunya cara untuk mematahkan kutukan ini hanyalah melenyapkan biangnya. Si Bintang Hitam itu."

Naomi mengerjap, untung saja air yang diminumnya tidak tersedak di tengah jalan. "Melenyapkan ... seorang—eh, apalah itu—iblis? Berarti, membunuhnya?"

"Kau membuat bahasa yang sudah repot-repot kuperhalus jadi sia-sia," dengus Schatten pendek. "Yah, intinya memang begitu, sih."

Kernyitan di dahi Naomi kian berlipat. "Memangnya, kau—kita­­—bisa membunuhnya?"

Schatten menyeringai tipis, menunjukkan liontin prisma yang terkalung di lehernya, "Dengan katalis dari Sang Kejora, hal itu sama sekali tidak mustahil."

Sekali lagi, mata Naomi kembali terpana kagum pada liontin jernih yang tiap sisinya dilapisi refleksi samar itu. Tetapi kernyitan di dahinya tidak menghilang, "Tapi ... bagaimana bisa katalis berbentuk liontin ini...?"

Schatten mengerjap ketika mendengar respon Naomi, seolah terlupa sesuatu. "Oh, aku belum pernah menjelaskan fungsi/ apa saja yang bisa dilakukan katalis ini, ya?"

"Kau hanya pernah bilang bahwa katalis itu mengandung energi magis dari pecahan Bintang Kejora yang merupakan sebuah roh eksistensi, deh."

Mengingat-ingat sejenak, Schatten akhirnya mengangguk kecil. "Ah, ya, hanya dasarnya saja, ya. Jadi—kau bisa lihat satu kerlip mirip kunang-kunang di dalam sini?" Anak lelaki itu melepas tali kalungnya, mendekatkan katalis itu ke hidung Naomi untuk diamati.

Naomi memutar sekilas kristal katalis itu, hingga ia melihat sebuah kerlip cahaya yang melayang di tengah-tengahnya—persis apa kata Schatten; mirip kunang-kunang. "Oh, aku melihatnya!"

"Itu adalah inti katalis—inti energi magis yang dibentengi wujud katalis. Energi magis itulah yang membuat sebuah katalis menjadi spesial, karena merupakan pecahan roh eksistensi yang mempunyai kekuatan lebih dari makhluk biasa—atau setidaknya jauh di atas manusia.

"Spesialisasi magis ada sangat banyak dan berbeda-beda. Tapi setahu yang kutangkap dari penjelasan Sang Kejora, magisnya akan menjawab harapan pemilik katalisnya. Juga, dengan menjadi pemilik katalis, berarti mendapatkan akses ke beberapa tempat yang berkaitan dengan roh eksistensi atau sederajatnya."

Naomi seketika menyadari satu hal, "Berarti, dengan memiliki katalis itu, kita bisa pergi ke tempat Bintang Hitam untuk melenyapkannya?"

Schatten mengangguk, senang gadis itu mulai tanggap. "Kita bisa menantangnya. Konon, makhluk dengan penggolongan nama 'bintang' itu bersemanyam di satu lapisan langit—di antara awan-awan, ada selaput magis yang menyembunyikan keberadaan mereka dari mata manusia. Di selaput sanalah seharusnya iblis sialan itu memantau kota yang dikutuknya ini.

"Bintang Kejora pernah mengatakan padaku; waktu terbaik untuk menghubungkan jembatan portal—semacam pintu magis—dari daratan manusia ke lapisan langit adalah malam bulan mati—satu fase sebelum bulan akan memulai fase barunya lagi, dengan tidak terlihat sama sekali."

Naomi cukup ingat ia pernah mempelajari soal fase-fase bulan seperti itu dulu, "Jadi ... fase bulan mati akan datang berapa malam lagi?"

"Kalau itu, aku juga lupa. Tapi setidaknya, kita masih punya cukup waktu." Schatten bangkit berdiri, meraih dan memainkan tombaknya dalam satu putaran seolah untuk meregangkan kedua lengannya. "Sampai waktu itu tiba, aku punya satu tugas untukmu, Naomi."

Naomi yang baru saja bangkit mengikuti gestur Schatten lekas menoleh, "Apa itu?"

"Selami dirimu sendiri, dan temukanlah mimpimu." []


<><><><><>

Thanks for read,

A/Z.

The Dreamless LandWhere stories live. Discover now